“Siapa
kamu?” ia membentuk sebuah garis di pipiku, kemudian tersenyum.
“Manusia tak
boleh tahu terlalu banyak”
“Jadi, kamu
bukan manusia?”
Ia tidak
menjawab dengan mulutnya. Ia menjawab dengan tubuhnya. Aku melihata sesosok
besar yang berjalan ke arahku.
“Untuk apa
kau kesini?” tanyaku
“Kau sendiri
yang mengundangku”
“Kapan?”
Ia membelai
wajahku lagi, menyingkirkan rambut halus yang menutupi keningku.
“Wajahmu.
Setiap waktu. Wajahmu muncul dalam kepalaku hampir tiap waktu. Senyummu itu,
adalah undangan yang tidak tahan untuk kutolak” katanya diselingi seringai.
http://www.firstpeople. |
Ini rayuan
atau candaan, aku tak tahu. Namun jantungku begitu berdebar-debar saat itu.
Mungkin aku senang, atau tersanjung, dan mungkin juga aku ketakutan. Aku tak
tahu perasaan apa yang mendominasi.
Udara malam
yang mengalirkan bisik sunyi, dan gerakan dedaunan yang dihembuskan angin,
menyelimutiku dalam bayang-bayang, kabur, mana yang maya dan mana yang nyata,
aku tak tahu persisnya.
***
Aku
mengambil beberapa timba air dari dalam kubangan kemudian menuangkannya ke
dalam ember. Kemudian dengan hati-hati membawanya melintasi hutan pinus.
“Nak, jangan
pulang sore, bahaya. Ayo kita ke surau. Kita ke masjid” kata seorang wanita tua
yang kepalanya telah dipenuhi uban padaku.
Wanita itu berusaha memperingatkanku
tentang sesuatu. Sebuah mitos yang aneh. Sebuah sejarah yang sama sekali tidak
masuk akal.
“Nanti dia
akan membawamu pada dunianya” katanya ketika aku berusaha mengabaikan
peringatannya.
“Benarkah?
Mungkin di dunia lain, aku bisa jadi orang kaya” kataku sambil tertawa lebar.
Tidak kusangka, kata-kata itulah yang akhirnya membuatku terjebak dalam kondisi
ini. Berada di ambang, antara nyata dan maya. Diantara kematian dan hirup
kehidupan.
Daun-daun
berguguran saat angin meniupnya dengan kencang, kemudian ranting-ranting kecil
berjatuhan dengan begitu deras.
Seolah-olah langit telah mengganti awan dengan
pohon dan air hujan dengan ranting-rantingnya. Aku berlari terhuyung-huyung
menuju perkampungan.
Beberapa mata melihatku dengan cemas, beberapa diantaranya
bahkan sampai berlari mengejarku dan menanyakan kondisiku.
“Ya ampun
Neng gelis, ayo sini, biar kubersihkan lukamu” kata salah seorang wanita sambil
merangkulku dengan tangannya. Dia Kakak perempuanku, satu-satunya saudara yang
kumiliki setelah yang lainnya meninggal dunia.
“Di hutan
sewaktu aku mengambil air, tiba-tiba pepohonan menjadi aneh” kisahku bahkan
sebelum wanita itu membuka mulutnya untuk bertanya
***
Keesokan
harinya, beberapa warga berbondong-bondong datang untuk menjengukku,
seolah-olah aku telah menderita penyakit parah dan akan meninggal dalam waktu
singkat.
“Neng
kemarin ke hutan, katanya mau ngambil air. Begitu pulang, dia sudah penuh
dengan luka” kata Kakakku sambil mengoleskan dedaunan tumbuk ke atas keningku
yang berdarah.
Itu adalah obat-obatan tradisional yang kata warga akan
membuatku sembuh dan bebas dari gangguan jin penunggu hutan. Aku dikutuk jin
penunggu hutan, begitu kata mereka.
“Tidak salah
lagi, jin itu pasti merasa terganggu karena Neng ke sana petang hari. Itu kan
waktu rawan. Jin tidak suka ada yang mengganggu waktu istirahatnya” kata salah
seorang warga dengan raut wajah yakin.
Seolah-olah ia telah bicara dengan jin
penggangu itu dan tengah berusaha menakut-nakuti kami dengan mitos kolot itu lagi.
“Hutan itu
tidak boleh dimasuki oleh siapa pun saat matahari tenggelam. Kita harus segera
melakukan upacara pembersihan untuk meredakan amarah jin itu” kata warga
lainnya, memperkuat pendapat warga pertama.
“Ini bukan
karena jin, ini bencana alam biasa. Kata Pak Lurah, hal ini wajar terjadi.
Angin bahorok kan memang sering datang sewaktu-waktu. Kemarin pasti Neng lagi
apes saja. Jangan hubung-hubungkan dengan mitos” kata warga lainnya dengan
suara agak gemetaran.
Sepertinya ia ketakutan saat mengutarakan pendapatnya
itu.
Dia adalah sahabatku, Sarti, usianya sepantaran denganku. Kami mirip dalam
banyak hal. Perawakan, wajah, bahkan tabiat. Hanya saja, ia mengecap bangku
sekolahan, sementara aku tidak.
“Sudahlah
Pak, Bu, Neng perlu istirahat” kata Kakakku sambil menunjukkan mimik prihatin
padaku.
“Jika
penyebabnya hanya angin bahorok, kenapa Neng tidak juga siuman sejak kemarin?”
tanya warga lainnya dengan wajah khawatir.
Aku
memperhatikan mereka semua. Kemudian tertawa keras-keras.
“Apa
maksudmu siuman? Aku kan masih segar bugar” kataku sambil berusaha bangkit dari
tempat tidurku. Kemudian tertawa lebih keras. Lucu sekali mereka ini. Tetapi
semua orang diam, seolah tidak mendengar kata-kata yang aku ucapkan.
“Kak...”
panggilku pada Kakak yang matanya menjadi berair tiba-tiba. Dia akan menangis
sebentar lagi.
“Neng akan
segera sembuh” kata Kakakku sambil mengelus keningku yang belepotan oleh darah
dan tumbukan daun yang mulai mengering.
***
Aku berjalan
perlahan menuju hutan, kembali ke tempat dimana segalanya berawal.
Aku kembali
pada sebuah kubangan yang berisi air jernih yang merupakan mata air terbaik
Desa kami.
Desa kami adalah sebuah desa kecil dimana mayoritas warganya masih
mengandalkan hutan untuk berburu dan bercocok tanam. Sementara mata air itu
dianggap ajaib.
Mungkin kedudukannya seperti air zam-zam bagi masyarakat kebanyakan.
Hanya saja, tak banyak orang yang berani mengambil air disana, terutama ketika
petang hari.
“Disana ada
penunggunya” kata masyarakat sepakat.
http://explow.com |
Bahkan,
orang yang memasuki tempat itu pada saat matahari tenggelam akan dikutuk.
Kami
memang masih sangat menghargai mitos dan tradisi leluhur. Bagi kami, tradisi
dan budaya leluhur kami adalah semacam perisai yang melindungi kami dari
kebuasan dunia modern.
Kami akan mati tercabik dan terinjak jika melangkah
terlalu jauh ke dalam dunia modern.
Lalu seperti
apa dunia modern itu? Tanyaku pada diriku sendiri.
“Mungkin
saat kamu mulai meragukanku” suara itu tiba-tiba saja menggema.
Kemudian
aku
mencium bau aneh yang melingkupiku. Rambut-rambut halus terbang
mengelilingiku. Lalu tiba-tiba aku mendengar suara napasnya di
telingaku.
Aku refleks
menghindar, tetapi aku mendengar suara lengkingan.
“Kamu takut
padaku?” tanyanya ketika masih tertawa.
“Aku cuma
kaget” jawabku ketus. Ia melepaskan dekapannya.
“Jadi,
sekarang kamu sudah tak takut padaku?” tanyanya dengan wajah datar. Dengan
konsentrasi penuh ia memandangi wajahku. Ia menantikan jawabanku.
“Apa kamu
adalah jin yang mereka bicarakan? Apa benar kamu mengutukku?” tanyaku dengan
lantang.
Aku tak
takut padanya lagi. Bagiku, dia adalah teman.
Sejak orang tua dan
saudara-saudaraku meninggal, aku dan Kakakku harus berjuang sendirian untuk
menghidupi diri kami.
Sejak lima tahun lalu, aku mengabdikan diriku sebagai
pengangkut air.
Aku berjalan menuju hutan dan mengambil mata air dari sana
kemudian menjualnya. Aku menukar seember air dengan beberapa lembar uang
ribuan.
Pekerjaanku
akhirnya membawaku kepadanya, makhluk aneh itu.
“Dulu kamu
ketakutan saat pertama kali melihatku” katanya dengan wajah bangga.
Ia
mengibas-ngibaskan ekornya kemudian berlari menuju pepohonan dan menggoreskan
cakarnya di sana. Dia seperti seekor serigala yang tengah menandai wilayahnya.
“Siapa yang
tidak takut pada serigala?”
“Aku kan
bukan serigala” jawabnya dengan wajah kesal.
“Tapi
wujudmu adalah serigala.”
Ia mendengus,
kemudian melompat ke atas, seolah ingin pamer.
Ia membiarkan rambut-rambut
halusnya tertiup angin dan menutupi tubuhku dengan rambutnya.
Seketika tubuhku
rasanya menjadi semakin sesak.
Udara di tutupi oleh rambut-rambut halusnya. Aku
berusaha untuk lari dan mencari udara, tetapi aku mendengar desah napasnya di
daun telingaku.
“Apa
sekarang kamu takut?” aku menghempaskan tubuhnya dari sisiku kemudian ia
tertawa. Ia melepaskan dekapannya.
“Apa yang
sebenarnya kamu inginkan?” tanya serigala itu padaku.
“Aku ingin
kebenaran. Kamu bisa menunjukkannya padaku?” tanyaku padanya.
“Tergantung
kebenaran mana yang ingin kau ketahui”
“Ceritakan padaku
tentang jin dan kubangan air ini.” kataku dengan yakin.
“Kubangan
air ini bagus, aku betah disini. Airnya murni dan jernih” jawabnya dengan
santai.
“Tapi kalau soal jin, aku tidak tahu. Aku hanya berada disini untuk
minum. Aku tak tahu siapa jin yang mereka maksud”
Aku mengelus
kepalanya yang penuh dengan rambut-rambut halus.
“Jin itu
kamu. Mereka bilang, kamu telah mengutukku karena telah mengambil air di
kubangan ini” kataku sambil tersenyum.
“Mengutukmu?
Aku hanya disini untuk minum. Ini juga bukan punyaku. Ini kan pinjaman Tuhan.
Asal kalian bisa menjaga keseimbangan alam, dan meredam keserakahan, kita tetap bisa saling berdampingan” jawabnya
dengan bijak.
Serigala
itu, tampak begitu menawan. Aku terjebak dalam perkataannya. Dibelenggu dalam
pesonanya. Aku terperangkap.
“Neng?”
tanyanya tiba-tiba. Aku terkejut, kemudian pikiranku pecah.
“Apa?”
“Seharusnya
kamu bukan manusia. Karena kamu manusia, kamu menjadi terlalu serakah. Jika
kamu tidak begitu, mungkin kejadiannya tidak akan begini. Bukankah saat itu
sudah ada yang memperingatkanmu? Seorang nenek?”
“Maksudmu,
aku tidak boleh mengambil air di kubangan ini saat matahari tenggelam?”
“Ternyata
ingatanmu masih bagus” katanya sambil tertawa.
“Lalu apa
maksudmu? Bukankah kamu bilang, kamu tidak akan mengutukku? Jangan bercanda”
“Mana bisa
aku bercanda dengan kutukan? Aku saja tidak bisa mengutuk”ia tertawa lebar.
“Coba kamu
menurutinya. Pasti kejadiannya tidak akan begini. Seharusnya kamu ke masjid
untuk sholat maghrib, kan? Hutan kan tidak aman saat gelap, itu saatnya untuk
beristirahat, untuk sholat. Angin bohorok memang membuatmu sempoyongan, tetapi
kamu tidak sadar apa yang sebenarnya terjadi padamu Neng. Malam itu, seekor
ular berbisa menggigitmu”
Ia
melingkarkan tubuhnya padaku, membiarkan tubuhku dilingkupi bulu-bulu halusnya.
Kemudian membisikkan sesuatu ke daun telingaku.
“Mereka akan
memakamkanmu hari ini”
Gak seperti cerpen-cerpenku yang "ngedon di
E" dan gak terselesaikan, aku berusaha keras nyelesein benda ini. Dulu,
sekitar setahun yang lalu, cerpen ini dibuat untuk tujuan : diterbitkan.
Saya,
dan dua orang sahabat saya (semoga kamu baca) mempersiapkan beberapa cerpen
untuk dikumpulkan menjadi semacam kumpulan cerpen, lalu akan kami terbitkan
pada penerbit indie. Ada lho penerbit indie yang gratis.
Namun, setelah lama
berada dalam ketidakjelasan, kuputusakan untuk menghentikan usaha itu. Cerpen
ini aku posting di sebuah web dari penerbit(yang kebetulan lagi bikin lomba),
dan ternyata cerpen ini nyaris jadi juara.
Janjinya, bakal ada semacam
sertifikat, tapi, yang dijanjikan terlupakan seiring dengan keputusanku untuk
melupakan web itu. Aku pikir, cerpen ini masih punya "soul", walaupun
belum bisa kuikutkan lomba, atau kukirimkan ke koran(menurut pendapat penulis).
Tapi, dia pantas untuk dibaca (kamu boleh gak setuju sih)
4 komen:
tes tes
aku ngetes juga deh
Keren... *kasih 4 jempol*
wah, ada ane...:)
jempol kaki diitung 2 ne, jempol tangan diitung setengah..
ayo, segera cari template love
Posting Komentar