yang udah berkunjung

Diberdayakan oleh Blogger.

MAKASIH KUNJUNGANNYA, MAMPIR LAGI YA...

Jumat, 22 Juni 2012

BERCANDA DENGAN KUTUKAN ?


“Siapa kamu?” ia membentuk sebuah garis di pipiku, kemudian tersenyum.

“Manusia tak boleh tahu terlalu banyak”

“Jadi, kamu bukan manusia?”

Ia tidak menjawab dengan mulutnya. Ia menjawab dengan tubuhnya. Aku melihata sesosok besar yang berjalan ke arahku.

“Untuk apa kau kesini?” tanyaku

“Kau sendiri yang mengundangku”

“Kapan?”

Ia membelai wajahku lagi, menyingkirkan rambut halus yang menutupi keningku.

“Wajahmu. Setiap waktu. Wajahmu muncul dalam kepalaku hampir tiap waktu. Senyummu itu, adalah undangan yang tidak tahan untuk kutolak” katanya diselingi seringai.

http://www.firstpeople.
Ini rayuan atau candaan, aku tak tahu. Namun jantungku begitu berdebar-debar saat itu. Mungkin aku senang, atau tersanjung, dan mungkin juga aku ketakutan. Aku tak tahu perasaan apa yang mendominasi.

Udara malam yang mengalirkan bisik sunyi, dan gerakan dedaunan yang dihembuskan angin, menyelimutiku dalam bayang-bayang, kabur, mana yang maya dan mana yang nyata, aku tak tahu persisnya.



***

Aku mengambil beberapa timba air dari dalam kubangan kemudian menuangkannya ke dalam ember. Kemudian dengan hati-hati membawanya melintasi hutan pinus.

“Nak, jangan pulang sore, bahaya. Ayo kita ke surau. Kita ke masjid” kata seorang wanita tua yang kepalanya telah dipenuhi uban padaku. 

 Wanita itu berusaha memperingatkanku tentang sesuatu. Sebuah mitos yang aneh. Sebuah sejarah yang sama sekali tidak masuk akal.

“Nanti dia akan membawamu pada dunianya” katanya ketika aku berusaha mengabaikan peringatannya.

“Benarkah? Mungkin di dunia lain, aku bisa jadi orang kaya” kataku sambil tertawa lebar. 

Tidak kusangka, kata-kata itulah yang akhirnya membuatku terjebak dalam kondisi ini. Berada di ambang, antara nyata dan maya. Diantara kematian dan hirup kehidupan.

Daun-daun berguguran saat angin meniupnya dengan kencang, kemudian ranting-ranting kecil berjatuhan dengan begitu deras. 

Seolah-olah langit telah mengganti awan dengan pohon dan air hujan dengan ranting-rantingnya. Aku berlari terhuyung-huyung menuju perkampungan. 

Beberapa mata melihatku dengan cemas, beberapa diantaranya bahkan sampai berlari mengejarku dan menanyakan kondisiku.

“Ya ampun Neng gelis, ayo sini, biar kubersihkan lukamu” kata salah seorang wanita sambil merangkulku dengan tangannya. Dia Kakak perempuanku, satu-satunya saudara yang kumiliki setelah yang lainnya meninggal dunia.

“Di hutan sewaktu aku mengambil air, tiba-tiba pepohonan menjadi aneh” kisahku bahkan sebelum wanita itu membuka mulutnya untuk bertanya

***

Keesokan harinya, beberapa warga berbondong-bondong datang untuk menjengukku, seolah-olah aku telah menderita penyakit parah dan akan meninggal dalam waktu singkat.

“Neng kemarin ke hutan, katanya mau ngambil air. Begitu pulang, dia sudah penuh dengan luka” kata Kakakku sambil mengoleskan dedaunan tumbuk ke atas keningku yang berdarah. 

Itu adalah obat-obatan tradisional yang kata warga akan membuatku sembuh dan bebas dari gangguan jin penunggu hutan. Aku dikutuk jin penunggu hutan, begitu kata mereka.

“Tidak salah lagi, jin itu pasti merasa terganggu karena Neng ke sana petang hari. Itu kan waktu rawan. Jin tidak suka ada yang mengganggu waktu istirahatnya” kata salah seorang warga dengan raut wajah yakin. 

Seolah-olah ia telah bicara dengan jin penggangu itu dan tengah berusaha menakut-nakuti kami dengan mitos kolot itu lagi.

“Hutan itu tidak boleh dimasuki oleh siapa pun saat matahari tenggelam. Kita harus segera melakukan upacara pembersihan untuk meredakan amarah jin itu” kata warga lainnya, memperkuat pendapat warga pertama.

“Ini bukan karena jin, ini bencana alam biasa. Kata Pak Lurah, hal ini wajar terjadi. Angin bahorok kan memang sering datang sewaktu-waktu. Kemarin pasti Neng lagi apes saja. Jangan hubung-hubungkan dengan mitos” kata warga lainnya dengan suara agak gemetaran. 

Sepertinya ia ketakutan saat mengutarakan pendapatnya itu.

Dia adalah sahabatku, Sarti, usianya sepantaran denganku. Kami mirip dalam banyak hal. Perawakan, wajah, bahkan tabiat. Hanya saja, ia mengecap bangku sekolahan, sementara aku tidak.

“Sudahlah Pak, Bu, Neng perlu istirahat” kata Kakakku sambil menunjukkan mimik prihatin padaku.

“Jika penyebabnya hanya angin bahorok, kenapa Neng tidak juga siuman sejak kemarin?” tanya warga lainnya dengan wajah khawatir.

Aku memperhatikan mereka semua. Kemudian tertawa keras-keras.

“Apa maksudmu siuman? Aku kan masih segar bugar” kataku sambil berusaha bangkit dari tempat tidurku. Kemudian tertawa lebih keras. Lucu sekali mereka ini. Tetapi semua orang diam, seolah tidak mendengar kata-kata yang aku ucapkan.

“Kak...” panggilku pada Kakak yang matanya menjadi berair tiba-tiba. Dia akan menangis sebentar lagi.

“Neng akan segera sembuh” kata Kakakku sambil mengelus keningku yang belepotan oleh darah dan tumbukan daun yang mulai mengering.

***

Aku berjalan perlahan menuju hutan, kembali ke tempat dimana segalanya berawal.

Aku kembali pada sebuah kubangan yang berisi air jernih yang merupakan mata air terbaik Desa kami. 

Desa kami adalah sebuah desa kecil dimana mayoritas warganya masih mengandalkan hutan untuk berburu dan bercocok tanam. Sementara mata air itu dianggap ajaib. 

Mungkin kedudukannya seperti air zam-zam bagi masyarakat kebanyakan. Hanya saja, tak banyak orang yang berani mengambil air disana, terutama ketika petang hari.

“Disana ada penunggunya” kata masyarakat sepakat.

http://explow.com

Bahkan, orang yang memasuki tempat itu pada saat matahari tenggelam akan dikutuk. 

Kami memang masih sangat menghargai mitos dan tradisi leluhur. Bagi kami, tradisi dan budaya leluhur kami adalah semacam perisai yang melindungi kami dari kebuasan dunia modern. 

Kami akan mati tercabik dan terinjak jika melangkah terlalu jauh ke dalam dunia modern.

Lalu seperti apa dunia modern itu? Tanyaku pada diriku sendiri.

“Mungkin saat kamu mulai meragukanku” suara itu tiba-tiba saja menggema. 



Kemudian aku mencium bau aneh yang melingkupiku. Rambut-rambut halus terbang mengelilingiku. Lalu tiba-tiba aku mendengar suara napasnya di telingaku.

Aku refleks menghindar, tetapi aku mendengar suara lengkingan.

“Kamu takut padaku?” tanyanya ketika masih tertawa.

“Aku cuma kaget” jawabku ketus. Ia melepaskan dekapannya.

“Jadi, sekarang kamu sudah tak takut padaku?” tanyanya dengan wajah datar. Dengan konsentrasi penuh ia memandangi wajahku. Ia menantikan jawabanku.

“Apa kamu adalah jin yang mereka bicarakan? Apa benar kamu mengutukku?” tanyaku dengan lantang.

Aku tak takut padanya lagi. Bagiku, dia adalah teman. 

Sejak orang tua dan saudara-saudaraku meninggal, aku dan Kakakku harus berjuang sendirian untuk menghidupi diri kami. 

Sejak lima tahun lalu, aku mengabdikan diriku sebagai pengangkut air.

 Aku berjalan menuju hutan dan mengambil mata air dari sana kemudian menjualnya. Aku menukar seember air dengan beberapa lembar uang ribuan.

Pekerjaanku akhirnya membawaku kepadanya, makhluk aneh itu.

“Dulu kamu ketakutan saat pertama kali melihatku” katanya dengan wajah bangga. 

Ia mengibas-ngibaskan ekornya kemudian berlari menuju pepohonan dan menggoreskan cakarnya di sana. Dia seperti seekor serigala yang tengah menandai wilayahnya.

“Siapa yang tidak takut pada serigala?”

“Aku kan bukan serigala” jawabnya dengan wajah kesal.

“Tapi wujudmu adalah serigala.”

Ia mendengus, kemudian melompat ke atas, seolah ingin pamer.

Ia membiarkan rambut-rambut halusnya tertiup angin dan menutupi tubuhku dengan rambutnya. 

Seketika tubuhku rasanya menjadi semakin sesak. 

Udara di tutupi oleh rambut-rambut halusnya. Aku berusaha untuk lari dan mencari udara, tetapi aku mendengar desah napasnya di daun telingaku.

“Apa sekarang kamu takut?” aku menghempaskan tubuhnya dari sisiku kemudian ia tertawa. Ia melepaskan dekapannya.

“Apa yang sebenarnya kamu inginkan?” tanya serigala itu padaku.

“Aku ingin kebenaran. Kamu bisa menunjukkannya padaku?” tanyaku padanya.

“Tergantung kebenaran mana yang ingin kau ketahui”

“Ceritakan padaku tentang jin dan kubangan air ini.” kataku dengan yakin.

“Kubangan air ini bagus, aku betah disini. Airnya murni dan jernih” jawabnya dengan santai.
 
“Tapi kalau soal jin, aku tidak tahu. Aku hanya berada disini untuk minum. Aku tak tahu siapa jin yang mereka maksud”

Aku mengelus kepalanya yang penuh dengan rambut-rambut halus.

“Jin itu kamu. Mereka bilang, kamu telah mengutukku karena telah mengambil air di kubangan ini” kataku sambil tersenyum.

“Mengutukmu? Aku hanya disini untuk minum. Ini juga bukan punyaku. Ini kan pinjaman Tuhan. Asal kalian bisa menjaga keseimbangan alam, dan meredam keserakahan,  kita tetap bisa saling berdampingan” jawabnya dengan bijak.

Serigala itu, tampak begitu menawan. Aku terjebak dalam perkataannya. Dibelenggu dalam pesonanya. Aku terperangkap.

“Neng?” tanyanya tiba-tiba. Aku terkejut, kemudian pikiranku pecah.

“Apa?”

“Seharusnya kamu bukan manusia. Karena kamu manusia, kamu menjadi terlalu serakah. Jika kamu tidak begitu, mungkin kejadiannya tidak akan begini. Bukankah saat itu sudah ada yang memperingatkanmu? Seorang nenek?”

“Maksudmu, aku tidak boleh mengambil air di kubangan ini saat matahari tenggelam?”

“Ternyata ingatanmu masih bagus” katanya sambil tertawa.

“Lalu apa maksudmu? Bukankah kamu bilang, kamu tidak akan mengutukku? Jangan bercanda”

“Mana bisa aku bercanda dengan kutukan? Aku saja tidak bisa mengutuk”ia tertawa lebar.

“Coba kamu menurutinya. Pasti kejadiannya tidak akan begini. Seharusnya kamu ke masjid untuk sholat maghrib, kan? Hutan kan tidak aman saat gelap, itu saatnya untuk beristirahat, untuk sholat. Angin bohorok memang membuatmu sempoyongan, tetapi kamu tidak sadar apa yang sebenarnya terjadi padamu Neng. Malam itu, seekor ular berbisa menggigitmu”

Ia melingkarkan tubuhnya padaku, membiarkan tubuhku dilingkupi bulu-bulu halusnya. Kemudian membisikkan sesuatu ke daun telingaku.

“Mereka akan memakamkanmu hari ini”



Gak seperti cerpen-cerpenku yang "ngedon di E" dan gak terselesaikan, aku berusaha keras nyelesein benda ini. Dulu, sekitar setahun yang lalu, cerpen ini dibuat untuk tujuan : diterbitkan. 



Saya, dan dua orang sahabat saya (semoga kamu baca) mempersiapkan beberapa cerpen untuk dikumpulkan menjadi semacam kumpulan cerpen, lalu akan kami terbitkan pada penerbit indie. Ada lho penerbit indie yang gratis. 



Namun, setelah lama berada dalam ketidakjelasan, kuputusakan untuk menghentikan usaha itu. Cerpen ini aku posting di sebuah web dari penerbit(yang kebetulan lagi bikin lomba), dan ternyata cerpen ini nyaris jadi juara.



 Janjinya, bakal ada semacam sertifikat, tapi, yang dijanjikan terlupakan seiring dengan keputusanku untuk melupakan web itu. Aku pikir, cerpen ini masih punya "soul", walaupun belum bisa kuikutkan lomba, atau kukirimkan ke koran(menurut pendapat penulis). 



Tapi, dia pantas untuk dibaca (kamu boleh gak setuju sih)




separador

4 komen:

Rahma Setyaningsih mengatakan...

tes tes

mega fitriyani mengatakan...

aku ngetes juga deh

Say_Ane mengatakan...

Keren... *kasih 4 jempol*

mega fitriyani mengatakan...

wah, ada ane...:)
jempol kaki diitung 2 ne, jempol tangan diitung setengah..
ayo, segera cari template love

Cari

profil

Foto saya
seolah hitam, padahal kelabu.

sahabat

Blog Archive

Categories