Hari ini seharusnya aku mengatakannya, sementara aku tetap membisu, dibawah cahaya rembulan. Bibirku terkatup, mataku sembam dan pikiranku melayang terbang. Andai saja...
Dedaunan di rumah kami tak lagi hijau seperti dulu, saat 10 tahun lalu, ketika semua keluarga masih berkumpul dan bermanja dalam satu atap. Rumah sederhana yang hampir mirip gubug itu dipenuhi tawa ceria dan sumringah, dan memenuhi hati setiap jiwa yang berlindung di bawah atapnya dengan perasaan berbuncah-buncah dan bahagia. Dan kini, segalanya berubah.
Ia tertidur dalam hening, kepalanya telah kaku dan dingin. Kehangatan tubuhnya tak lagi dapat kurasakan, padahal tubuh itulah yang begitu sering menghangatkanku dulu. Wajahnya tak lagi secantik dulu, saat ia pertama kali memanggilku “Adik” dan membawaku berkeliling rumah bersama. Tetapi senyumannya masih sama, sama lebar dan manisnya ketika pertama kali ia mengelus kepalaku dan mengatakan jika semua akan baik-baik saja.
Aku melihat wajahku di dalam cermin, wajah itulah yang seharusnya mati. Bukan wanita itu, bukan wanita mulia itu. Tetapi tak ada yang dapat aku lakukan, kecuali menjerit dalam hening, memanggil-manggil namanya, menunggunya pulang, memandangi foto kenanganannya.
Ingatanku berpendar ke masa lalu, dimana gemintang masih bersinar semu dan kelabu, ketika langit menjadi sangat gelap dan aku tidak bisa melihat sinar disana. Duniaku penuh kebusukan dan derita, angin dingin menyiksaku, binatang jalang mengoyak tubuhku sementara langit menghinaku karena aku terlalu pengecut.
Tiba-tiba seorang wanita tersenyum padaku, matanya berair ketika itu hingga aku bisa melihat sinar terpantul dari sana. Aku melihat cahaya disana, yang bahkan tak ku temukan dari matahari. Ia mengelus kepalaku, kemudian memelukku dengan sangat erat, seolah aku adalah harta karun yang ia temukan dengan susah payah.
“Semua akan baik-baik saja” Ia belum tahu, jika aku adalah kutukan baginya.
Ia menyingkirkan tali yang mengekangku dengan belati kecilnya yang kemudian ia selipkan diantara pakaian polisinya.
“Kau menghadapi hal yang berat beberapa waktu ini, tenang saja, kami datang untuk menyelamatkanmu” katanya sambil menarik tanganku dengan lembut menuju mobil polisi.
“Kalian semua korban penculikan yang malang, kami akan mempertemukan kalian dengan keluarga kalian sesegera mungkin” tambah wanita itu.
Beberapa orang dengan seragam yang serupa memandangi wajah kami satu per satu, seperti tengah berusaha mengingat-ingat wajah anak-anak malang yang akan mereka pamerkan pada semua orang karena berhasil menyelamatkan kami. Tetapi tidak dengan wanita itu, aku melihat sinar mata kelembutan disana. Tidak terlalu tajam hingga melukai orang-orang yang mencuri pandang kearahnya, tak juga terlalu lemah hingga tertutupi oleh kecantikan wajahnya.
Orang-orang datang dan pergi, dan anak-anak yang berada di sampingku perlahan-lahan menghilang, berganti dengan kursi kosong yang senyap. Mereka semua telah dijemput orang tuanya, sementara aku hanya anak lelaki malang yang bahkan tak memiliki rumah untuk tinggal. Jika penculik itu menangkap anak-anak kaya untuk mendapatkan tebusan, mereka hanya menculikku untuk dijadikan pelayan. Atau dijual organ tubuhnya jika aku membuat mereka kesal.
Beberapa petugas duduk disampingku dan menanyakan namaku, lalu rumahku, lalu segala hal yang ingin mereka tahu dengan pandangan kasihan sekaligus penasaran, entah mana yang lebih kuat. Tetapi yang kulakukan saat itu hanya terus diam membisu. Wanita itu kemudian datang mendekatiku, mengamati wajahku yang mungkin tampak murung, atau bahkan lebih menyedihkan lagi, rasanya aku lebih baik mati kelaparan dan ketakutan disana, daripada dikasihani seperti ini.
“Kalau kau tak punya keluarga, kau boleh tinggal dirumahku” katanya tanpa bertanya apapun. Seolah ia bisa membaca pikiranku, seolah ia bisa mendengar jerit tangisku di dalam hening. Aku seperti berada di sungai yang dipenuhi sampah, dan semua orang berusaha menolongku, tetapi sampah itu menghalangi penglihatan mereka sementara ia menyelematkanku dengan kedua tanganku, membawaku naik ke daratan dan memelukku hangat.
Berpendar-pendar, menyala girang, itulah sinar matanya. Ia mengajakku berkeliling, mengelilingi rumahnya yang begitu sederhana dan damai hingga aku bisa mendengar nyanyian disana. Bisikan halus rumah itu. Rasanya semua benda memiliki bunyi, rumah itu bernyanyi. Dedaunan yang bergesekan terkena angin, kemudian hiasan di depan pintu tamu yang berdentang lembut setiap ada angin yang melewatinya. Kemudian suara langkah kaki kecil yang berlarian didalam sana, semuanya menimbulkan bunyi yang indah, menimbulkan harmoni cinta dan keceriaan.
“Adik, kau boleh memanggilku Kakak sekarang” kemudian dua orang kembar yang lucu membawaku berlarian, mereka seumuran denganku, mencari-cari remah keceriaan yang mungkin tercecer di sudut-sudut rumah itu, dan aku menemukannya. Ada perasaan berbuncah-buncah di dalam dadaku, dan untuk pertama kalinya sejak penculik itu mengurungku aku pun tertawa lepas, walaupun yang terdengar hanya suara serak yang terdengar seperti kakek yang batuk.
“Kakak hari ini ulang tahun. Ayo kita belikan sesuatu untuknya” kata si kembar itu sambil menampakkan giginya yang rapi. Sementara kembar lainnya mengangguk-angguk setuju.
“Jangan, Kakak gak suka kita buang-buang uang. Kita bikin kado untuknya, kamu mau ikut?” tanyanya sambil memandangiku dengan mata berbinar-binar, sepertinya ia begitu berharap aku ikut. Kemudian entah dimana akal sehatku, tanpa komando, kepalaku telah mengangguk.
Kami membuatkannya sebuah tempat pensil yang berasal dari gelas air mineral bekas.
“Kami tak tahu hal lain, kecuali apa yang sudah Kakak ajarkan pada kami” kata si kembar sambil memperhatikan tempat pensil yang dipenuhi coretan berwarna yang membentuk wajah wanita itu dengan sangat kacau. Hampir tak ada yang mirip dari gambar itu dengan wanita cantik itu, kecuali mereka sama-sama wanita. Tetapi kami dengan bangga memberikannya sebagai hadiah ulang tahun itu padanya, memalukan sekali.
Si kembar bergantian mengucapkan selamat padadnya, kemudian suasana hening. Mereka memperhatikanku, tatapan mereka seolah menyuruhku untuk berkata sesuatu atau Tuhan akan mengutukku. Aku melihat mata wanita itu, sinarnya yang lembut menjadi semakin indah ketika melihatku. Ada harapan di sana, seperti lilin yang bersinar terang. Dan aku menjadi air yang menjadikan lilin itu padam, karena yang kulakukan hanya diam. Suaraku tercekat di tenggorokan, tak ada yang bisa kukatakan kecuali hanya bergema di dalam kepalaku saja.
“Tak apa, kau mungkin masih lelah. Ayo semua tidur, besok pagi aku akan membawa kalian jalan-jalan sebagai ganti hadiah cantik ini” katanya dengan senyum sumringah.
***
Semua orang berjalan, mengikuti iringi-iringan waktu, membawa kami pada masa depan yang ketika itu masih diawang-awang. Wanita itu tengah mencuci pakaian ketika dua kembar itu berpamitan untuk pulang. Aku tak lagi mengenal mereka, mereka mengelilingi dunia sebagai pengunjung kemudian mengatakan pada semua orang jika mereka tinggal disana, di tempat asing. Sementara rumah yang sejak lama mengasuh mereka dengan kasih dan menghibur derita mereka dengan nyanyian alam ditinggalkan pergi begitu saja. Meninggalkan wanita itu dan aku berdua berdampingan.
“Hei, jangan lupa ya, kunjungi kami lagi” kata wanita itu dengan senyum lebar kemudian terbatuk-batuk.
Si kembar melihatnya dengan mata sedih, tetapi kemudian senyuman di wajah wanita itu mengembalikan keceriaan mereka. Wanita itu baru saja mengorbankan kebahagiaannya sendiri. Aku tahu ia sedih, tapi ia tak mengeluarkan apapun dari mulutnya kecuali senyuman. Senyuman yang begitu lembut dan cantik, yang tak pernah hilang termakan zaman, tergerus oleh keadaan.
Ia memandangiku sesaat kemudian menyuruhku mengantar mereka pergi. Aku mengangguk.
Kami telah sampai di ujung rumah, di depan daun pintu. Aku memandangi dua wajah kembar itu, mencari si kembar kecil manis yang dulu kukenal. Tetapi yang kulihat hanya dua orang lelaki yang penuh ambisi dan sibuk memikirkan dirinya sendiri.
Ketika itu aku benar-benar ingin mendamprat mereka, mengatakan jika Kakak tercinta itu sangat merindukan mereka, dan malam nanti adalah malam dimana ia dilahirkan 30 tahun lalu. Tetapi suaraku masih tidak dapat kukeluarkan. Suaraku mungkin tak tersekat di tenggorokan, aku telah kehilangan pita suaraku. Dan bahkan aku tak bisa lagi tertawa karena hal itu. Aku tak pernah sadar jika penculik itulah yang melakukan hal itu padaku. Dan aku hanyalah lelaki malang yang tak lagi mampu mendengar suaranya lagi. Aku bahkan tak mampu menertawakan suaraku sendiri.
Dan kedua lelaki itu pun pergi, menjejali diri mereka dengan berbagai pengalaman, menjelajahi banyak tempat dan bercerita pada kami jika mereka kembali. Sementara wanita itu tengah mengeringkan air matanya ketika aku sampai.
Aku melihat sebuah tempat pensil dimana wajahnya tergambar dan ia tengah menggenggamnya erat sekali. Tubuhnya gemetaran, seperti melihat hantu. Tetapi tidak demikian, ia tidak ketakutan, ia kesakitan. Aku membopongnya ke tempat tidur, membaringkannya dan memberinya obat. Namun ia memalingkan wajahnya.
“Ini sudah terlalu lama. Aku sudah tidak sanggup memakan obat-obat ini lagi”katanya dengan frustasi.
Aku ingin sekali mengatakan sesuatu padanya, mengatakan seperti yang dokter katakan pada kami tentang penyakit paru-parunya. Tetapi aku hanya bisa melihatnya dengan mata yang basah. Ia terlihat sangat tersiksa. Bagaimana mungkin wanita semulia itu disiksa seperti itu?
Seolah mengerti kata-kataku, ia pun berucap. Hanya kalimat lembut dan menyejukkan yang pernah keluar dari sana. Disaat seperti itu, seharusnya aku yang mengatakan hal itu. Harusnya aku yang menghiburnya.
“Tak apa, aku baik-baik saja. Kenapa Dik? kau takut aku mati dengan menderita?” ia tersenyum.
“Aku tidak takut pada kematian. Seperti halnya dirimu dulu. Bukankah kau memilih untuk mati daripada dikasihani? Tapi tenang saja, aku tidak sefrustasi dirimu waktu itu. Aku tahu yang kulakukan. Aku membiarkan si kembar pergi agar mereka belajar caranya menyembuhkan penyakit ini, bukannya mengurung mereka di dalam sini. Mereka belajar banyak, dan kurasa, mereka akan tahu cara menyembuhkan penyakit ini, bukan hanya menghilangkan rasa sakitnya”
Aku terus berusaha menyodorkan kapsul-kapsul itu padanya. Berharap ia akan luluh dan bersedia menelannya. Tapi ia bergeming. Aku menunduk, kemudian berusaha berlari ke luar, memanggil dokter. Tetapi tangan itu menahanku, tangan hangat itu menggenggam tanganku dengan kuat.
“Aku mohon, jangan biarkan aku mati kesepian. Paling tidak, temani aku. Bantu aku mengingat Tuhan”
Ia sakit karena melindungiku. Ia menggunakan semua tabungan yang bisa gunakan untuk menyembuhkan penyakitnya untuk mengoperasi pita suaraku yang rusak. Ia bilang, ia tidak akan selamat. Operasi yang dilakukan hanya akan membuatnya tersiksa. Sementara menurutnya, aku akan menjadi seorang pemimpin bangsa yang akan mengubah bangsa ini menjadi lebih hebat.
Aku memandangi matanya yang masih tetap terang, cahaya lilin yang ada di dalam sana tetap bersinar terang, tetapi lilin itu semakin mengecil dan kurasa tak lama lagi akan padam. Ketika itu ia memegangi tanganku, meremasnya dengan kuat. Aku mengaguk-angguk mengerti. Ia bercerita banyak, tidak melalui mulutnya, tetapi cahaya lilin yang ada di dalam sana yang menceritakan itu semua.
Aku memandanginya lagi. Ketika itu, hal yang begitu ingin kulakukan hanyalah memandangnya, dan berkata “Selamat ulang tahun”. Tetapi tak pernah ada kata yang keluar dari sana. Tak ada getaran suara dari dalam pita suaraku yang telah dioperasi 3 hari lalu. Aku terus menerus membuka mulutku, berusaha mengucapkan sesuatu. Tetapi tetap tak ada yang bisa kudengar kecuali getaran serak yang tak berarti apapun kecuali keputusaan.
Wanita itu melihatku dengan senyuman lebar di wajahnya, ia tak lagi bicara. Tapi lilin dimatanya menceritakan segalanya. Ia melihat tempat pensil itu kemudian tersenyum kearahku, seolah mengerti jika aku ingin mengucapkan hal itu padanya. Bulan tenggelam dan roh roh menghambur memenuhi angkasa, malaikat kematian datang kesana, menjemput wanita mulia itu.
Aku menggigil ketakutan, sedih dan meradang. Aku berteriak, tetapi tak pernah ada nada yang terdengar, selain serak tak bermakna. Kemudian aku melihat sosoknya, samar, dan begitu lembut. Ia mengelus pipiku perlahan.
“Kau tak perlu memaksakan dirimu sayang. Aku tahu maksud ucapanmu. Aku mengerti. Bukankah bahasa bukan hanya tentang bicara? Bukan hanya tentang suara?”
Dan ia membiarkanku menangis di depannya, sebelum pergi menghilang. Dan aku berteriak memanggilnya “Kakak”.
Dan semuanya berubah. Suaraku menggema memenuhi ruangan, berpendar ke langit, dan menghujam ke dalam jantungku. Aku melihatnya tersenyum lagi, dan kali ini lebih lebar.
“Selamat ulang tahun”
Minggu, 17 Juli 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
5 komen:
Terharu ga T...T
iya kah?
makasih...:D
ayo kesini
http://dumalana.com/2011/07/24/mereka-bilang-aku-sinting/
sekalian promosi..hhiii
oke...
“Kau tak perlu memaksakan dirimu sayang. Aku tahu maksud ucapanmu. Aku mengerti. Bukankah bahasa bukan hanya tentang bicara? Bukan hanya tentang suara?”
aku suka kata-kata ini, bgt...
wuah bahasanya tingkat tinggi, lbh banyak maenin erasaan ama pake majas ya...
semangat!!! tetep produktif
iya bina, makasih...
karena kata2 itu inti ceritanya...:D
semangat buat bina :D
selamat berkarya...
Posting Komentar