Ini adalah sebuah prolog untuk novel fantasi bernuansa lokal Indonesia berjudul RAHAGI. Dibuat dengan bantuan keisengan, deadline lomba dan kesenangan pribadi.
Orang-orang
berkerumun di halaman rumah. Saling berdesakan, berusaha mendapatkan tempat.
Bersaing untuk menjadi yang paling depan. Mereka ingin melihat bagaimana rupa anak
muda itu. Orang yang tiba-tiba ditemukan tergelosor di bawah pohon mangga,
dengan denyut nadi yang sangat pelan dan tubuh yang basah. Tidak ada sungai
atau pun sumber air di sekitarnya, juga tidak hujan selama beberapa hari
terakhir, bagaimana mungkin dia bertubuh basah seperti itu? itu yang terus
didengung-dengungkan di dalam perbincangan.
“Bagaimana
keadaannya?” tanya beberapa orang, mengkonfirmasi berita yang beredar dari
mulut ke mulut. Bahwa anak muda itu kulitnya memiliki corak biru keabu-abuan
seperti dehidrasi, memar-memar, tak
sadarkan diri saat ditemukan. Saat diangkat dari tanah, mulutnya masih bisa menggumamkan
nama seseorang yang begitu asing di telinga. Bukan nama orang-orang zaman
sekarang. Candramawa katanya.
Ia
dikerubuti, difoto dan diperbicangkan dengan serius, sebelum seorang pria
dengan pakaian kumal, kulit gelap terpanggang matahari, dan keringatan, mengusir
orang-orang. Memohon agar mereka minggir. Seorang supir angkot memandang gadis
itu, mengernyitkan kening, kemudian segera menggendongnya bersama-sama dengan
dua orang pria. Memasukkannya ke dalam angkot.
“Sudikah
bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian ikut berdoa mendo’akan dia?” kata orang itu,
sebelum beberapa orang naik ke angkot, memangku tubuhnya secara bebarengan.
Mereka
melaju kencang, mengklakson anak kecil, menyalip tukang becak, lalu berbelok
tajam, berhenti di sebuah bangunan putih dengan tulisan PUSKESMAS. Supir angkot
keluar, kemudian berteriak-teriak dari luar ruangan. Membuat pasien yang mengantri
menengok ke sekitar, mencari tahu apa yang sedang terjadi.
“Tolong
dia...dia sedang sakaratul maut!” katanya, direspon dengan tindakan serba cepat
dan terampil.
Dalam
hitungan menit, tubuh basah itu tiba-tiba saja sudah berada di dalam ruangan, di
pasangi selang-selang, dipacu detak jantung, lalu disuntiki berbagai macam
cairan. Empat orang pria pengantar mondar mandir di depan kamar pasien,
seolah-olah menunggu isti masing-masing yang sedang melahirkan.
“Mohon
bantu saya mendo’akan dia,” katanya pada setiap orang yang tak sengaja lewat di
hadapannya.
“Dia...masih
sangat muda.”
0 komen:
Posting Komentar