Kenyataan
bahwa manusia harus toleran, dan menghargai persamaan adalah hal yang kadang
membuat saya bimbang dan galau (walaupun banyak hal lain yang membuat galau
juga). Apalagi kalau harus bersikap netral.
Hal ini saya rasakan ketika mengikuti sebuah diskusi yang diadakan oleh
komunitas LGBT dan sebuah forum mahasiswa pada Senin (3/6) di Yogyakarta.
Mereka
berkata bahwa mereka memang terlahir seperti itu. Saya kembali mengingat
pernyataan seorang trasgender dua tahun lalu.
“Apabila Tuhan hanya menciptakan
siang dan malam, lalu dimanakah sore dan pagi?”
Mereka yakin, menjadi seorang
homoseksual maupun transeksual bukanlah sebuah pilihan.
Mereka melanjutkan, hal itu merupakan
sesuatu yang tidak bisa ditolak. They
born this way.
Benarkah
? Saya tahu, tidak pada tempatnya saya
mempertanyakan kebenaran.
Sebab benar dan salah selalu mengkotak-kotakkan sesuatu.
Menjadikan hal yang tidak “benar” sebagai benda keji yang harus dijauhi.
Sementara orang-orang yang merasa telah benar menjadi petantang-petenteng tanpa
mau membuka pikiran lagi.
Mungkin benar apa kata Ayu Utami, kebenaran haruslah
menjadi sesuatu yang tertunda.
Sebab, bila kebenaran adalah saat ini, maka ia
akan menjelma kekuasaan dan kita akan berhenti untuk terus mencari hal yang
mendekati benar.
Akan
tetapi, ada baiknya saya memaparkan beberapa hal yang pernah dianggap benar
oleh sejumlah ilmuan mengenai hal ini (seperti biasa, teori dan hasil
penelitian memang debatable).
Pernyataan
bahwa LGBT bukan merupakan pilihan tapi sesuatu yang harus diterima apa adanya,
menuntut penjelasan lebih lanjut.
Sebagai
mahasiswi psikologi, kami terbiasa menganalisis mind and behavior manusia melalui nature (bawaan) dan nurture(lingkungan)nya
di mana keduanya saling mempengaruhi.
Dari segi nature, kita tidak bisa lepas
dari hormon, otak dan genetika.
Benarkan LGBT disebabkan oleh faktor bawaan ?
Dari
situs http://www.samesexattraction.org
disebutkan bahwa tidak ada bukti yang kuat yang menyatakan bahwa gay dan
lesbian disebabkan oleh kelainan hormon, otak maupun genetika.
Apabila
tertarik, mungkin bisa mengkomparasikan LGBT dengan kelainan kromosom seperti pseudomale
(pria tersamar), pseudofemale (wanita tersamar), female-pseudohermaprodite,
male-pseudohermaprodite atau kelainan-kelainan lain.
Dalam hal ini, bisakah
kita mengatakan bahwa LGBT mungkin tidak disebabkan oleh pengaruh bawaan ? sepertinya butuh penelitian ya...:)
Masalah
nurture atau lingkungan, tidak dapat kita lepaskan dari kehidupan keluarga
(yang biasanya menjadi cikal bakal kemunculan perbedaan orientasi seksual) dan
komunitas (paling kuat pada masa remaja dan dewasa dimana mereka mulia berjarak
dengan keluarga).
Orang yang memiliki ayah yang kasar, atau ibu yang terlalu
dominan dianggap membuat seorang pria bisa berubah menjadi gay (tentu ini masih
bisa didiskusikan, terutama karena saya belum membaca hasil penelitian yang
membuktikan hal ini).
Orang-orang yang bergaul di komunitas LGBT, dimana mereka
melihat LGBT bukanlah sebuah penyakit, memiliki kemungkinan yang lebih besar
untuk menjadi LGBT juga (?).
Dalam hal ini, tentu kita tidak bisa serta merta
mengatakan LGBT merupakan produk dari lingkungan saja atau bawaan saja.
Mungkin
benar kata Passer & Smith, jika suling adalah nature dan orang yang meniup
adalah nurture, dapatkan kita mengatakan bunyi yang dihasilkan suling adalah produk
suling atau produk si musisi?
Saya
paham, tentu manusia tidak akan puas ketika menemukan jawaban menggantung
seperti diatas.
Manusia tidak puas ketika belum menemukan kebenaran.
Maka, kita
akan kembali pada penelaahan pribadi yang subjektif (keyakinan subjektif,
seperti juga subjective well being
terkadang memang tidak perlu diperdebatkan).
Saya percaya bahwa manusia dapat
bertahan hidup selama ratusan tahun (mungkin ribuan) karena proses adaptasinya
yang baik.
Binatang beradaptasi dengan mengubah bentuk fisiknya (secara
keilmuan saya percaya pada teori evolusi), sementara manusia mengubah
lingkungan fisiknya (fisik juga, tapi tidak terlalu ekstrem.
Saya jadi ingat jumlah
hemoglobin orang di dataran tinggi yang katanya lebih banyak dibandingkan orang
di dataran rendah, taraf toleransi terhadap polusi, dll).
Ketertarikan pada
lawan jenis adalah salah satu blue print
untuk mempertahankan spesiesnya (fungsi reproduksi). Maka, sewajarnya pria dan
wanita memang mencintai apa yang dipasangkan untuknya.
Kemudian,
dengan latar belakang agama saya yang melarang adanya homoseksual, sebagai
penganut agama itu, jelas saya akan mengatakan bahwa perilaku seksual mereka
salah.
Perilaku seksual berbeda dengan
orientasi seksual. Seorang pria yang melakukan aktivias seksual dengan
sejenisnya, kita sebut melakukan perilaku seksual. Kita mengatakan seseorang
gay (sebagai orientasi seksual) ketika dia juga melibatkan perasaan cinta.
Apabila
homoseksual memang diciptakan oleh Tuhan (sebagaimana kita terlahir sebagai heteroseksual),
mengapa hal ini jelas-jelas dilarang ?
Dengan demikian, bukankah kita baru saja
mengatakan Tuhan tidak adil pada makhluknya?
Sampai
disini, anda pasti bisa melihat betapa galaunya saya. Tulisan saya kesana
kemari tanpa tujuan yang jelas (barangkali hanya untuk melegakan pikiran saya,
atau membuat halaman blog saya terupdate setelah 6 bulan mati suri). Mungkin benar
kata salah seorang kawan saya, bersikap netral itu lebih sulit daripada
berpihak J
2 komen:
*numpang ikutan galau*
www.jualsewatanah.com
Posting Komentar