Aku
persembahkan kitab ini agar seluruh pewaris Tanah Jawa mengetahui, bahwa aku:
Sabdopalon, Nayagenggong, Ismaya atau Semar, sebagai hamba sahaya yang tak
pernah berpihak pada raja-raja berjiwa angkara murka melainkan pada seluruh
kawula yang berjalan dengan cahaya budi, sekalipun aku tak kembali menjadi
pamomong raja semenjak Prabu Wijaya hingga sekarang, namun aku akan kembali
menjadi pelindung pada sang Sinatriya Piningit yang akan menjadi matahari baru
di Tanah Jawa atau Nusantara manakala Pandawa Amalat Sinaning Panganten.
***
“Jadi, dia
benar-benar sudah datang, ya?”
“Coba ingat-ingat letusan gunung merapi tahun 2010
dulu. Arah lahar dan wedhus gembelnya ke barat daya, kan?”
“Betul! Sepertinya Sabdopalon memang telah
memberikan peringatan kepada orang-orang yang masih percaya dengannya, bahwa
dia tidak lenyap, tetapi akan muncul lagi untuk membela kawula yang percaya
pada cahaya budi.”
“Di tempat ini, hampir enam puluh persen
masyarakatnya percaya dengan Sabdopalon!”
“Kalau begitu, kita memang harus benar-benar
bergerak, Bung!”
***
Dia membenarkan posisi kacamata yang melorot dari
batang hidungnya. Tangannya sudah gemetaran karena semalaman kami memang tidak
tidur. Kami harus segera menemukan cara sebelum segalanya berjalan di luar
kendali.
“Sudah terlalu lama kita bergerak di bawah tanah. Kita butuh orang-orang kita di pemerintahan,
bagaimana pun caranya.”
“Bagaimana pun caranya ya...” dia diam sambil
memandangi foto-foto kader yang kami petakan kekuatan dan kelemahannya
masing-masing. Salah satu dari lima belas orang baru yang ada di atas meja ini,
nantinya akan kami ajukan sebagai calon Kepala Desa Panggih.
Beberapa rekan kami, berulang kali mengejek kami
berdua, karena terlalu mengurus hal remeh temeh seperti Kepala Desa. Orang
bodoh memang biasanya banyak bicara, dan isinya kosong melompong. Mereka asal
menghardik tapi lupa untuk membuka mata. Benar, ya, memang ada banyak jabatan
yang lebih tinggi dan berpengaruh di dalam Indonesia, tetapi, kekayaan di satu
daerah bisa jadi melebihi satu kabupaten yang tandus.
Panggih meninggalkan jejak sejarah kerajaan
Majapahit yang jaya, yang akan dihargai oleh dunia dengan tangan terbuka. Di
tempat ini, berdiri candi Pantarapura tempat Sri Tri Buwana Tunggadewi dan Sri
Kertawedhana didharmakan. Bukti kasih sayang dan penghormatan rakyat Majapahit terhadap
pemimpinnya yang telah tiada. Sebuah jejak yang tertimbun abu letusah gunung
Kelud tahun 1677 dan masih tetap tidak terdengar kiprahnya hingga kini. Saya
tahu karena saya adalah seorang ilmuan, dan saya bukan ilmuan bodoh yang akan
membeberkan apapun yang ia ketahui ke masyarakat luas hanya untuk direndahkan
derajadnya sebagai barang komoditas publik. Yang akan mengundang
makhluk-makhluk kotor yang ingin mengambil keuntungan dari apapun yang ada di
dunia ini.
Peninggalan sejarah ini harus diamankan di tempat
yang paling terlindungi, di mana tak ada orang-orang yang dapat berfoto dan
meletakkan nama jeleknya di antara karya seni masa lalu yang mempersona. Dia akan
kami darmakan kepada masyarakat internasional, tempat di mana mereka bisa lebih
menghargai peninggalan sejarah leluhurnya.
“Permasalahannya, candi ini terletak di bawah areal
pertanian orang-orang Panggih secara turun temurun, warisan leluhur mereka kepada
cucu hingga cicitnya. Sebuah kebiasaan hanya dapat diputuskan oleh sebuah
tekanan yang besar dan kuat. Sebuah revolusi. Hanya ksatria Piningit yang akan
mereka percayai sebagaimana petuah para raja Jawa yang lalu. Kepada Desa
Panggih nantinya, harus menyingkirkan orang-orang dari sana dan membuat proyek
besar,” kataku.
“Bagaimana dengan pembangunan sekolah baru?”
“Lahan seluas itu untuk sekolah? Ada banyak tanah
kosong di Desa Panggih. Masyarakat akan menolak. Kita memang bisa menyingkirkan
mereka, tetapi kalau sampai hal ini naik ke permukaan dan semakin menarik
perhatian, kita tidak bisa mengambil stupa-stupa itu dengan bebas.”
“Kita bangun pabrik, Bung! Dengan sendirinya mereka
akan meninggalkan lahan pertanian mereka, terutama para pekerjanya. Kita bayar
lebih tinggi. Mereka pasti akan memilih untuk bekerja dengan kita. Para pemilik
tanah, tidak akan memiliki pekerjanya lagi kecuali membayar lebih tinggi daripada
kita. Dan ya, itu mungkin bisa mengatasi persoalan pekerja, tetapi hasil dari
pertanian tidak akan menutup jumlah pengeluaran yang telah mereka lakukan. Dengan
sendirinya, mereka akan menjual lahan pertanian mereka pada kita.”
“Tapi pabrik butuh dana besar.”
“Kalau begitu, kita ambil saja tenaga mudanya. Kita adakan
rekrutmen untuk pabrik-pabrik milik kelompok kita di Indonesia. Kalau tenaga
muda pekerjanya habis, dan yang tua-tua juga mati, pertanian akan ditinggalkan.”
“Tapi itu terlalu lama.”
“Bagaimana dengan menciptakan konflik suku, Bung?”
“Hem?”
“Kita memiliki paket lengkap. Di kabupaten ini, kita
memiliki dua suku yang berbeda, dengan dua kepercayaan dan penghasilan yang
berbeda pula. Kita buat mereka saling membenci. Ada banyak potensi yang bisa
membuat mereka berkonflik. Nah, begitu suasana sudah cukup panas, kita bisa
diam-diam membakar perkampungan ini. Orang-orang akan mengungsi kepada sanak
saudaranya, sementara yang laki-laki akan tetap tinggal untuk membalas dendam. Mereka
akan sibuk saling menyerang, dan kita bisa mengambil peninggalan sejarah ini
tanpa gangguan. Lalu begitu kita selesai menjarah barang-barang ini, kita akan
memunculkan ksatria Piningit kita ke permukaan. Dia akan membongkar konspirasi
kita dan muncul sebagai pahlawan.”
“Jadi maksudmu, kita akan melakukan pengorbanan?”
“Ya, tapi kita adalah pengkonsep. Siapa yang
tertangkap tetaplah orang-orang bodoh yang gelap mata. Mereka yang akan mencuri
dan tertangkap, tapi kelompok kita yang akan mendapatkan keuntungan.”
“Maksud
Anda...”
“Seperti permainan catur, kita memiliki pion-pion
yang siap dikorbankan. Kita memiliki kader-kader bodoh yang akan menuruti semua
permintaan kita. Begitu mereka menyetorkan uang kepada kelompok, kita akan membiarkan
pelaku itu tertangkap oleh kader kita sendiri, sang Ksatria Piningit. Kelompok
persaudaraan kita akan mendapatkan keuntungan sekaligus, dana dan kepercayaan
masyarakat.”
“Tapi nama kelompok kita akan dibawa-bawa.”
“Untuk itulah kita akan membiarkan masyarakat yang
marah membunuh para pencuri sebelum mereka ditangkap oleh polisi. Lagipula,
kelompok persaudaraan kita adalah kelompok yang tak bernama, jadi mustahil
mereka akan bisa mengungkap siapa kita, Bung!”
“Anda benar-benar hebat!” kataku sambil bertepuk
tangan.
Dalam hati, aku hanya bisa tersenyum. Semua yang dia
katakan akan menjadi kenyataan, kecuali, akulah pengkonsepnya dan dialah pion
catur yang akan dikorbankan. Dia tidak tahu, aku sudah bekerja sama dengan
beberapa kader kelompok untuk melakukan penjarahan benda budaya itu, menjualnya
ke pihak asing dan dengan sendirinya mendapatkan uang yang banyak untuk
kelompok. Kami bahkan tidak perlu melakukan konflik suku atau tindakan bodoh
dan boros seperti yang dia lakukan. Lokasi di mana candi itu terkubur bukan di lawan
pertanian para petani Panggih, tetapi di bawah pabrik gula tua yang sudah
ditinggalkan dan dianggap seram oleh masyarakat. Hanya tinggal menunggu waktu,
sampai pion-pion itu berjalan sesuai rencana, dan aku akan muncul ke permukaan
begitu semuanya sudah siap. Sebagai ksatria yang piningit, yang akan hadir tatkala
sinar matahari menyusut pada satu tubuh. Yang di dalam dirinya terdapat cahaya
keteguhan pikir, hati dan keimanan, sekaligus. Tinggal menghitung hari.
“Apa kau yakin Ksatria Piningit yang betulan akan
datang, Bung?”
“Kenapa Anda tiba-tiba menanyakan hal itu?”
“Aku hanya merasa...ada sesuatu yang salah yang
sedang terjadi. Sangat salah...Ksatria Piningit adalah harapan banyak orang, di
mana Indonesia akan dibawa menjadi negeri yang nantinya akan berkuasa di dunia.
Kurasa, tidak seharusnya kita menipu mereka...mungkin saja, dia betul-betul dat...”
Tiba-tiba terdengar kaca jendela yang pecah. Dia beranjak,
melongok ke depan dengan wajah bingung. Aku menjauh pergi, kabur lewat pintu
belakang. Ah, sudah saatnya. Benar-benar sudah saatnya. Aku tidak boleh mati
bersama orang itu di sana. Mereka akan membakar rumah ini, sebentar lagi. Maaf
Bung, tapi inilah aturan mainnya.
Cerpen ini diikutikan dalam tantangan #KalimatPertama
dari @KampusFiksi. Kalimat pertama cerpen ini diambil dari novel berjudul “Sabdopalon”
yang ditulis Sri Wintala Achmad, dan diterbitkan oleh Araska pada tahun 2011.
0 komen:
Posting Komentar