yang udah berkunjung

Diberdayakan oleh Blogger.

MAKASIH KUNJUNGANNYA, MAMPIR LAGI YA...

Minggu, 18 Mei 2014

PINIGIT

Aku persembahkan kitab ini agar seluruh pewaris Tanah Jawa mengetahui, bahwa aku: Sabdopalon, Nayagenggong, Ismaya atau Semar, sebagai hamba sahaya yang tak pernah berpihak pada raja-raja berjiwa angkara murka melainkan pada seluruh kawula yang berjalan dengan cahaya budi, sekalipun aku tak kembali menjadi pamomong raja semenjak Prabu Wijaya hingga sekarang, namun aku akan kembali menjadi pelindung pada sang Sinatriya Piningit yang akan menjadi matahari baru di Tanah Jawa atau Nusantara manakala Pandawa Amalat Sinaning Panganten.
***
 “Jadi, dia benar-benar sudah datang, ya?”
“Coba ingat-ingat letusan gunung merapi tahun 2010 dulu. Arah lahar dan wedhus gembelnya ke barat daya, kan?”
“Betul! Sepertinya Sabdopalon memang telah memberikan peringatan kepada orang-orang yang masih percaya dengannya, bahwa dia tidak lenyap, tetapi akan muncul lagi untuk membela kawula yang percaya pada cahaya budi.”
“Di tempat ini, hampir enam puluh persen masyarakatnya percaya dengan Sabdopalon!”
“Kalau begitu, kita memang harus benar-benar bergerak, Bung!”
***
Dia membenarkan posisi kacamata yang melorot dari batang hidungnya. Tangannya sudah gemetaran karena semalaman kami memang tidak tidur. Kami harus segera menemukan cara sebelum segalanya berjalan di luar kendali.
“Sudah terlalu lama kita bergerak di bawah tanah. Kita  butuh orang-orang kita di pemerintahan, bagaimana pun caranya.”
“Bagaimana pun caranya ya...” dia diam sambil memandangi foto-foto kader yang kami petakan kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Salah satu dari lima belas orang baru yang ada di atas meja ini, nantinya akan kami ajukan sebagai calon Kepala Desa Panggih.
Beberapa rekan kami, berulang kali mengejek kami berdua, karena terlalu mengurus hal remeh temeh seperti Kepala Desa. Orang bodoh memang biasanya banyak bicara, dan isinya kosong melompong. Mereka asal menghardik tapi lupa untuk membuka mata. Benar, ya, memang ada banyak jabatan yang lebih tinggi dan berpengaruh di dalam Indonesia, tetapi, kekayaan di satu daerah bisa jadi melebihi satu kabupaten yang tandus.
Panggih meninggalkan jejak sejarah kerajaan Majapahit yang jaya, yang akan dihargai oleh dunia dengan tangan terbuka. Di tempat ini, berdiri candi Pantarapura tempat Sri Tri Buwana Tunggadewi dan Sri Kertawedhana didharmakan. Bukti kasih sayang dan penghormatan rakyat Majapahit terhadap pemimpinnya yang telah tiada. Sebuah jejak yang tertimbun abu letusah gunung Kelud tahun 1677 dan masih tetap tidak terdengar kiprahnya hingga kini. Saya tahu karena saya adalah seorang ilmuan, dan saya bukan ilmuan bodoh yang akan membeberkan apapun yang ia ketahui ke masyarakat luas hanya untuk direndahkan derajadnya sebagai barang komoditas publik. Yang akan mengundang makhluk-makhluk kotor yang ingin mengambil keuntungan dari apapun yang ada di dunia ini.
Peninggalan sejarah ini harus diamankan di tempat yang paling terlindungi, di mana tak ada orang-orang yang dapat berfoto dan meletakkan nama jeleknya di antara karya seni masa lalu yang mempersona. Dia akan kami darmakan kepada masyarakat internasional, tempat di mana mereka bisa lebih menghargai peninggalan sejarah leluhurnya.
“Permasalahannya, candi ini terletak di bawah areal pertanian orang-orang Panggih secara turun temurun, warisan leluhur mereka kepada cucu hingga cicitnya. Sebuah kebiasaan hanya dapat diputuskan oleh sebuah tekanan yang besar dan kuat. Sebuah revolusi. Hanya ksatria Piningit yang akan mereka percayai sebagaimana petuah para raja Jawa yang lalu. Kepada Desa Panggih nantinya, harus menyingkirkan orang-orang dari sana dan membuat proyek besar,” kataku.
“Bagaimana dengan pembangunan sekolah baru?”
“Lahan seluas itu untuk sekolah? Ada banyak tanah kosong di Desa Panggih. Masyarakat akan menolak. Kita memang bisa menyingkirkan mereka, tetapi kalau sampai hal ini naik ke permukaan dan semakin menarik perhatian, kita tidak bisa mengambil stupa-stupa itu dengan bebas.”
“Kita bangun pabrik, Bung! Dengan sendirinya mereka akan meninggalkan lahan pertanian mereka, terutama para pekerjanya. Kita bayar lebih tinggi. Mereka pasti akan memilih untuk bekerja dengan kita. Para pemilik tanah, tidak akan memiliki pekerjanya lagi kecuali membayar lebih tinggi daripada kita. Dan ya, itu mungkin bisa mengatasi persoalan pekerja, tetapi hasil dari pertanian tidak akan menutup jumlah pengeluaran yang telah mereka lakukan. Dengan sendirinya, mereka akan menjual lahan pertanian mereka pada kita.”
“Tapi pabrik butuh dana besar.”
“Kalau begitu, kita ambil saja tenaga mudanya. Kita adakan rekrutmen untuk pabrik-pabrik milik kelompok kita di Indonesia. Kalau tenaga muda pekerjanya habis, dan yang tua-tua juga mati, pertanian akan ditinggalkan.”
“Tapi itu terlalu lama.”
“Bagaimana dengan menciptakan konflik suku, Bung?”
“Hem?”
“Kita memiliki paket lengkap. Di kabupaten ini, kita memiliki dua suku yang berbeda, dengan dua kepercayaan dan penghasilan yang berbeda pula. Kita buat mereka saling membenci. Ada banyak potensi yang bisa membuat mereka berkonflik. Nah, begitu suasana sudah cukup panas, kita bisa diam-diam membakar perkampungan ini. Orang-orang akan mengungsi kepada sanak saudaranya, sementara yang laki-laki akan tetap tinggal untuk membalas dendam. Mereka akan sibuk saling menyerang, dan kita bisa mengambil peninggalan sejarah ini tanpa gangguan. Lalu begitu kita selesai menjarah barang-barang ini, kita akan memunculkan ksatria Piningit kita ke permukaan. Dia akan membongkar konspirasi kita dan muncul sebagai pahlawan.”
“Jadi maksudmu, kita akan melakukan pengorbanan?”
“Ya, tapi kita adalah pengkonsep. Siapa yang tertangkap tetaplah orang-orang bodoh yang gelap mata. Mereka yang akan mencuri dan tertangkap, tapi kelompok kita yang akan mendapatkan keuntungan.”
 “Maksud Anda...”
“Seperti permainan catur, kita memiliki pion-pion yang siap dikorbankan. Kita memiliki kader-kader bodoh yang akan menuruti semua permintaan kita. Begitu mereka menyetorkan uang kepada kelompok, kita akan membiarkan pelaku itu tertangkap oleh kader kita sendiri, sang Ksatria Piningit. Kelompok persaudaraan kita akan mendapatkan keuntungan sekaligus, dana dan kepercayaan masyarakat.”
“Tapi nama kelompok kita akan dibawa-bawa.”
“Untuk itulah kita akan membiarkan masyarakat yang marah membunuh para pencuri sebelum mereka ditangkap oleh polisi. Lagipula, kelompok persaudaraan kita adalah kelompok yang tak bernama, jadi mustahil mereka akan bisa mengungkap siapa kita, Bung!”
“Anda benar-benar hebat!” kataku sambil bertepuk tangan.
Dalam hati, aku hanya bisa tersenyum. Semua yang dia katakan akan menjadi kenyataan, kecuali, akulah pengkonsepnya dan dialah pion catur yang akan dikorbankan. Dia tidak tahu, aku sudah bekerja sama dengan beberapa kader kelompok untuk melakukan penjarahan benda budaya itu, menjualnya ke pihak asing dan dengan sendirinya mendapatkan uang yang banyak untuk kelompok. Kami bahkan tidak perlu melakukan konflik suku atau tindakan bodoh dan boros seperti yang dia lakukan. Lokasi di mana candi itu terkubur bukan di lawan pertanian para petani Panggih, tetapi di bawah pabrik gula tua yang sudah ditinggalkan dan dianggap seram oleh masyarakat. Hanya tinggal menunggu waktu, sampai pion-pion itu berjalan sesuai rencana, dan aku akan muncul ke permukaan begitu semuanya sudah siap. Sebagai ksatria yang piningit, yang akan hadir tatkala sinar matahari menyusut pada satu tubuh. Yang di dalam dirinya terdapat cahaya keteguhan pikir, hati dan keimanan, sekaligus. Tinggal menghitung hari.
“Apa kau yakin Ksatria Piningit yang betulan akan datang, Bung?”
“Kenapa Anda tiba-tiba menanyakan hal itu?”
“Aku hanya merasa...ada sesuatu yang salah yang sedang terjadi. Sangat salah...Ksatria Piningit adalah harapan banyak orang, di mana Indonesia akan dibawa menjadi negeri yang nantinya akan berkuasa di dunia. Kurasa, tidak seharusnya kita menipu mereka...mungkin saja, dia betul-betul dat...”
Tiba-tiba terdengar kaca jendela yang pecah. Dia beranjak, melongok ke depan dengan wajah bingung. Aku menjauh pergi, kabur lewat pintu belakang. Ah, sudah saatnya. Benar-benar sudah saatnya. Aku tidak boleh mati bersama orang itu di sana. Mereka akan membakar rumah ini, sebentar lagi. Maaf Bung, tapi inilah aturan mainnya.

Cerpen ini diikutikan dalam tantangan #KalimatPertama dari @KampusFiksi. Kalimat pertama cerpen ini diambil dari novel berjudul “Sabdopalon” yang ditulis Sri Wintala Achmad, dan diterbitkan oleh Araska pada tahun 2011.


separador

0 komen:

Cari

profil

Foto saya
seolah hitam, padahal kelabu.

sahabat

Blog Archive

Categories