Kehilangan sesuatu yang teramat penting, atau paling tidak,
hal yang dianggap penting, adalah sebuah tantangan. Di satu sisi, membuat kesal, di sisi lain, membikin semangat.
Saya tidak akan mengatakan hal klise seperti, kehilangan membuat kita lebih menghargai apa yang kita miliki, atau patah hati membuatmu menjadi sastrawan sejati, atau pelukis gila yang kesurupan Chairil Anwar (hha, ngaco).
Saya akan membicarakan diri saya sendiri, jika kamu mau dengar sih. Kalau saya belajar menghitung, nyatanya saya jadi keranjingan menulis.
Kalau saya pelukis, pasti saya sudah punya galeri. Sayangnya, saya cuma mahasiswa yang lagi gak punya notebook, kecuali "notebook" yang bisa ditulisi pakai pensil.
Tapi, saya suka kondisi ini. Saya jadi suka menulis, walaupun cuma satu atau dua kalimat pendek. Kalau bukan di komputer, barangkali
di kertas bekas laporan praktikum, atau barangkali, hanya terngiang di pikiran.
"Dari sudut hati
yang terkikis, sebuah semangat muncul untuk menulis," kata saya, berbohong. Sebetulnya, karena saya tidak bisa mengumpat-umpat dengan kasar ke orang lain, dan saya terlalu malas untuk berlama-lama curhat, maka saya menulis.
Menulis adalah tempat sampah, yang tidak pernah menjadi sampah.
Menulis adalah tempat sampah, yang tidak pernah menjadi sampah.
2 komen:
melukis saja, siapa tahu dia juga tak pernah menjadi sampah
betul juga ya...mungkin besok, waktu saya udah gak gemeteran lagi waktu pegang kuas ya...mungkin juga waktu gambar cantik saya gak dibilang siluman lagi
Posting Komentar