yang udah berkunjung

Diberdayakan oleh Blogger.

MAKASIH KUNJUNGANNYA, MAMPIR LAGI YA...

Senin, 24 Oktober 2011

Mereka Bilang Aku Sinting



Kau tahu, jika aku tak begini, mungkin pelacur itu telah mati

Pelacur itu membisu, bibirnya meramu lara yang menyesakkan. Pandangannya suram, melarut sampai jauh bersama temaram arwah gentayangan. Kau tahu, ia sedang menangis dalam hening. Hatinya telah terkikis. Menjadikannya serupa mozaik yang tak terdefinisi. Dalam hening ia menjerit, mematahkan jantungnya dengan curahan keputusasaan dan derita.

Mulutnya gemelutuk kesakitan, wajahnya serupa mayat yang pucat dan kaku. Bibirnya tak lagi merah seperti dulu, menjadi ungu dan beku. Rambutnya terurai, basah, dan lemah. Ia meringkuk di atas kasurnya, menggigil dalam sepi, dan sekarat. Malam ini, aku akan melakukannya. Dia akan BEBAS!

Hidup manusia begitu sederhana, kau tahu mengapa? Karena mereka dihidupkan untuk menuju kematian. Sungguh, menyesakkan memang. Seseorang yang telah dikandung berbulan-bulan dalam perut seorang wanita dan dihidupi dengan tetes-tetes peluh dan air mata hanya akan terkubur di tanah dan meninggalkan 3 baris kata dalam nisan-nisan. Berjajar bersama jerit malam kematian, melambung dalam keputusasaan dan kepunahan. Kau tahu, jika aku tak begini, mungkin pelacur itu sudah mati.

Aku mengelusnya, dengan kedua tanganku. Aku membelai bibirnya yang begitu mengoda. Ia wanita jalang, aku tahu. Tapi aku tak peduli dengan semua itu. Aku mencintainya, lebih dari semua wanita di dunia.

Cinta gila yang tak berlogika. Cinta yang membuatku merasakan napas yang bergelora dan penuh dengan gairah membara.
Kau tahu, aku mencintaimu” kataku ketika melihat sorot matanya yang lesu, bergumul dalam ketiadaan dan putus asa, mungkin akan tiba saatnya.
“Kenapa kau pergi malam itu? Apakah kasihku padamu tak cukup ? apa yang kau cari, sayang?” pelacur itu diam dalam hening.
 Bibirnya yang gemelutuk dikunci rapat, seperti ketakutan. Tetapi ia masih tampak cantik, auranya mengangkasa bersama jutaan gelora cinta. Mengalahkan pesona bidadari di atas sana.
“Jika kau tak kabur dariku, kau mungkin tidak akan diperkosa biadab jalanan seperti itu. Lihat dirimu kini, apa yang kau harapkan sebenarnya, sayang?”

Aku mengelus rambutnya, membiarkan laranya merambat ke dalam jantung dan napasku, menjadikan gelora itu semakin membara. Aku memeluknya, merasuk ke dalam dukanya, mengalirkan rasa tak terpendam itu padanya, merasakan desah napasnya yang tersenggal-senggal. Jantungnya yang melemah, dan bibirnya yang begitu pucat dan dingin. Aku tak lagi menemukan kehangatan di dalam tubuh itu, cahaya lilin yang menari di dalam matanya meredup, mati tertiup sepi. Aku mencium keningnya perlahan, hingga bulir mataku merembes membasahi tubuhnya. Ia sekarat. Mungkin ini saatnya sayang.

Aku gemelutuk, tubuhku bergetar hebat.
***

Aku memandangi fotonya. Kemudian ingatanku berpendar pada masa lalu.

Tubuh lemahnya telah tertidur lelap. Pipinya merona merah. Matanya menutup, bibirnya bergumam, menceracau lalu merintih kesakitan. Lengan kanan dan kirinya penuh dengan bekas sayatan, kasur itu dipenuhi oleh bercak darah. Aku menghela napas, merasakan bau anyir darah yang menembus hidungku, menjadikanku lelaki sempurna.

Aku meletakkan silet itu di atas meja, membaurkannya dengan pisau dan cambuk yang juga dilumuri berkas darah, serupa oli pada mesin yang menjaganya, bercak darah itu melakukan hal yang sama pada mereka. Wajahnya yang cantik dan lembut itu tengah terlelap tidur, wajah yang memancarkan semburat kencantikan tiada terperi itu mengalihkan akal sehatku. Sinar-sinar lampu menjadikan wajahnya lebih merona, warna merah darah. Berbau amis dan menggoda. Dia wanitaku.

Dunia jalang dan penuh penghianatan, tega sekali ia mengajak wanitaku memasukinya? Gadis lugu itu adalah surga, yang kemudian mejadi setan jelita yang meneror segala lelaki dengan kecantikannya. Mereka memeperebutkan wanitaku, seolah dia adalah piala berharga yang harus kuberikan pada mereka semua ketika menampakkan batang hidungnya di depanku.

Aku akan menghajar mereka, apalagi ?

Tetapi wanitaku itu begitu menyukai kebebasan, ia ingin pergi seperti burung, terbang mengarungi angkasa, membumbung hingga nirwana. Membebaskan belenggu kebiadaban dunia, dan memilih surga sebagai tempat berteduhnya. Tetapi tidak sayangku, dunia biadab itu tak membiarkanmu berlari menuju nirwana, sepertinya bumi pun jatuh cinta padamu.

Malam itu ketika kau memutuskan untuk lari dari kamar kita, tanpa seizinku, aku begitu panik. Sepertinya, seluruh bebatuan di dunia diambrukkan dikepalaku dan segala roh gentayangan menghemaskanku dalam jurang penderitaan. Aku berlari mengejarmu, menantang hujan dan berduel dengan halilintar. Sayangku, apa kau kehujanan di sana?


Hujan berubah menjadi gerimis, halilintar mengaku kalah dan langit menjadi cerah. Sayangku, aku menemukanmu. Dalam kondisi tubuh yang penuh luka, telanjang dengan isak tangis dan sesenggukan. Langit tiba-tiba saja menjadi gelap bagiku, bumi runtuh dan ambruk di kepalaku. Nirwana berubah menjadi neraka, dan kau tampak tak bahagia melihatku datang menjemputmu. Apa yang kau inginkan sayang?


Aku mendekatimu, melepaskan jaket di tubuhku, dan melilitkannya pada tubuhmu. Rasanya, ingin sekali aku membakar dunia, membiarkan Tuhan murka dan memasukkan kami ke dalam neraka, mengakhiri kebejatan dunia dan menghabiskan waktu bersamanya, wanitaku.

“Kau datang?” tanyanya dengan suara yang serak.

 Mungkin pita suaranya rusak. Seharusnya aku telah tiba disisinya sebelum ia berteriak-teriak sampai menghilangkan kejernihan suara surganya.

“Maaf sayang, aku terlambat.” Dan ia tertawa kecil.

“Ada tiga orang pria tadi, kau tahu aku lebih menikmatinya daripada harus bersamamu. Mereka tak mencintaiku sepertimu, tapi mereka tak berani melukaikuku. Mereka tak ingin tubuhku tergores.”

Malam yang durjana membawaku masuk ke dalam neraka. Rasanya begitu perih dan menyesakkan. Wanitaku, kini berubah menjadi pelacur. Wanita manisku yang dulu selalu tersenyum ketika menyambutku dan berjalan malu-malu dengan senyum yang tertahan kini berubah. Cahaya lilin yang berada di dalam matanya kini berubah menjadi kobaran api, menjadikannya wanita nakal dan liar. Apakah ini salahku?


Aku menggendongnya menyusuri jalanan, melewati pertokoan yang dulu menjadi pupuk bagi cinta yang bersemi diantara kami. Wanitaku, dia adalah seorang penjaga toko yang kini sudah bangkrut karena aku membawa bidadarinya pergi ke pelaminan.

Hujan gerimis jatuh bersama kenangan-kenangan. Ketika itu ia tersenyum begitu manis, menghidangkan secangkir teh hangat di kala hujan gerimis turun, kemudian mengobrol banyak hal.  Kadang tentang politik, kadang tentang harga makanan yang terus naik di dalam tokonya, kadang kala ia bercerita tentang Ayahnya yang begitu takut aku akan menyakitinya.

Kenangan-kenangan itu berbuncah-buncah dikepalaku, menjadikannya semacam kembang api yang menyinari gelapnya hatiku kala itu. Serupa obat yang menyembuhkan lara yang wanitaku goreskan dengan pengakuannya itu. Sungguh, rasanya sesak di dadaku hampir meremukkan tulang belulangku, amarahku begitu meninggi, sampai aku ingin melemparkan wanitaku ini ke dalam sungai dan bertepuk tangan saat ia tenggelam.

Tetapi rasa cintaku yang terlampau besar itu menahanku untuk melakukan itu semua. Wajahnya, senyumnya, tangisannya, rintihannya, segala hal yang ada pada dirinya serupa permata sempurna yang tidak bisa kutemukan di dalam nirwana manapun. Atau di dalam sihir manapun. Dia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna yang tiada pernah lapuk oleh kebejatan dunia, kebengisan zaman dan keserakahan manusia.

Malam itu, aku menggendongnya, menyusuri jalanan kota.

“Kau tahu, aku sangat mencintaimu”

Ia tertawa ngeri, sinis. Seolah ucapanku adalah omong kosong dan tak berarti.

“Kau lebih mencintai silet, cemeti dan pisaumu..kau tahu? Kau membiarkan mereka semua melukaiku. Sekencang apapun aku berteriak dan menangis, kau tak peduli. Kau yang kucintai tiba-tiba saja lenyap, seolah jutaan dedemit telah merasukimu dan menyuruhmu untuk menyiksaku. Kau tahu, betapa sakitnya ini semua?”


Aku diam dalam hening. Rasanya, begitu sulit mengendalikan situasi. Aku berpikir untuk meminta maaf, tetapi bahkan itu tindakan paling munafik yang bisa kulakukan, karena dengan segera, aku akan kembali melukainya.


Kau tidak perlu minta maaf sayang, aku tahu. Kau tidak benar-benar menginginkanku terluka. Setan di dalam dirimu yang melakukannya. Jangan khawatir, aku sudah memaafkanmu” katanya dengan suara terisak.


Ketika itu, aku begitu ingin memeluknya dan menghapuskan air mata itu dari sana. Aku tidak bisa mengendalikan diri kemarin, 2 hari yang lalu, seminggu yang lalu, sebulan yang lalu, lima tahun lalu, aku tidak pernah bisa mengendalikan diriku sendiri. Aku selalu melukainya, seolah aku ini penjahat keji yang tidak berperasaan. Tetapi tidak sayangku, perasaan cintaku lebih dari perasaanku terhadap semua wanita di dunia ini. Kau adalah wanitaku yang sempurna.
***


Sepuluh tahun kemudian

Mereka menangkapku sayang, mereka bilang ini kejahatan. Tapi aku tak melihat apapun kecuali kesetiaan. Aku begitu mencintaimu, dan begitu ingin menjadi lelakimu yang sempurna. Kau bilang, kesempurnaan cinta adalah setia, maka aku berusaha mewujudkannya untukmu.


Aku hanya takut jika wajahmu berubah menjadi keriput, lalu kau akan menua dan kehilangat semburat merah di pipimu dan cinta ini lenyap dariku. Aku begitu takut jika wanita-wanita muda akan mencabik perasaan cintaku padamu. Jadi, aku membuatmu hidup abadi, bukankah itu sangat indah?

Selain itu, rasanya aku tidak bisa terus menjadi iblis. Aku tidak bisa membiarkanmu menangis karena silet, cambuk dan pisauku, aku tidak bisa membiarkanmu terus-terusan menanggung derita. Tapi aku tak pernah sanggup melepaskanmu pergi, menghadapi dunia jalang ini sendirian.

Sayangku, tahukah kau perasaanku ini? Aku tidak akan membiarkan kau hilang di telan cacing-cacing liar, menyisakkan hanya tulang belulangmu. Aku takan sanggup melihatmu hanya sebagai nisan di pemakamanan, sayangku. Aku takan pernah sanggup. Karena aku begitu mencintaimu.


Lalu kenapa mereka semua menangkapku sayang? Mereka bilang aku gila. Mungkin benar, aku tergila-gila padamu. Tubuhmu tersimpan dalam drum bensin, kusembunyikan di dalam gudang milikku. Agar aku bisa melihatmu sesekali dan mengamati wajahmu yang tak akan pernah menjadi tua. Kau abadi selamanya. Aku hanya ingin terus mencintaimu, dan melihatmu tersenyum tanpa air mata ketika silet, cambuk dan pisau itu bermain denganmu. Aku hanya tidak sanggup kehilanganmu.

“Kau membunuh dan mengawetkan anakku, sinting!” Ayahmu menamparku, dengan begitu keras dan pedih. Kemudian air matanya bercucuran. Tapi sayang, bukankah aku hanya berusaha menjadi pencinta yang sempurna? Yang setia?

Tapi tenanglah sayang, aku akan kembali. Dan aku akan abadi bersamamu.



separador

7 komen:

Nurul Fajriyah Prahastuti mengatakan...

Ini cerita tentang sadisme ya ? hehehe jujur aku rada g kuat baca yg beginian --a

mega fitriyani mengatakan...

ga ga ga kuat..
ga ga ga kuat..
aku ga kuat
*nyanyi

tapi ini salah satu kegemaranku rul, sisi gelap mega si manis jembatan ancol...hhaaa
udah lama ga saling mengunjungi..

Nurul Fajriyah Prahastuti mengatakan...

mega jembatan anjlok? kedengaran bagus ^^
lha ini aku main ke tempatmu, sediain makanan gih...eh ternyata slide ow.nya nggak sempet ke kopi, besok aku mau minta ke bina :D

mega fitriyani mengatakan...

anjlok ? kecebur kali dong? wahh...bau, ogah saya..

males banget, wani piro ? hhaa
jia, okelah kalo begitu

Nurul Fajriyah Prahastuti mengatakan...

udah nggak usah kebanyakan nawar...sini mana suguhannya. aku udah jauh2 main ke blogmu, keringetan nih...haus

mega fitriyani mengatakan...

tak kasih sun sayang deh...hhee

salam

Nurul Fajriyah Prahastuti mengatakan...

bener loh? jangan cuma kasih janji manis

Cari

profil

Foto saya
seolah hitam, padahal kelabu.

sahabat

Blog Archive

Categories