Langit memanggilku pulang. Merambatkan panggilan lembut yang mengarahkanku pada keabadian. Sementara tubuhku tengah mengerang kesakitan. Mengantarkanku pada gerbang kematian.
Baru dua bulan aku menjejaki ruangan ini. Ruangan lembut dan begitu hangat, kemudian dengan sebuah benda, ia menyeretku keluar. Memecahkan tengkorak kepalaku dan mengeluarkan potongan tubuhku, satu per satu.
Hanya karena aku tak bersuara, mereka memperlakukanku seolah aku tak bernyawa. Hanya karena usiaku belum genap 4 bulan, mereka pikir aku tak bisa merasakan kesakitan. Aku menjerit dalam hening. Menyuarakan teriakan pada Tuhan, meminta keadilan.
Tuhan menjanjikan aku kesempatan untuk memijaki dunia, dan ia merebutnya tanpa izin Tuhan. Aku menjerit dan terus menjerit, tapi tak pernah ada yang mendengar. Aku harap ia mendengar jerit kesakitanku. Lara di sekujur tubuhku. Merasakan getaran di perutnya. Aku berontak. Menggoyangkan tubuhku ke kanan dan ke kiri, menghindari pemecah kepala. Tapi Tuhan memintaku menyerah dan pasrah. Lalu mereka menyeret pecahan tengkoraku ke luar.
Kulihat wanita itu menutup matanya dan mengerang kesakitan, wajahnya basah oleh air mata. Aku ingin berlari memeluknya dan menghapus air mata itu dari sana. Berkata jika aku sangat mencintainya, membutuhkannya, dan sangat berterima kasih padanya. Ia memberikanku tempat tinggal, walau hanya dua bulan.
Tapi Ibu-kuharap engkau mau kupanggil Ibu-.Kenapa tak kau biarkan aku mengabdi padamu? Kau bahkan belum melihatku tumbuh besar. Barang kali kelahirkanku akan membawa perubahan bangsa. Mungkin akan membuat hidupmu menjad lebih indah. Atau mungkin aku akan menjadi aktor terkenal dan memberimu banyak uang. Atau, jika aku bisa, aku akan menjadi apapun yang kau butuhkan.
Seorang lelaki berdiri di sampingnya. Melihat ke arahku dengan wajah jijik, ingin muntah. Aku melihatnya dengan seksama. Mengenali setiap inchi wajahnya. Wajah yang ku kenali. Sejak, aku belum migrasi. Dari dalam tubuh lelaki itu, aku disemayamkan. Lalu dengan sekuat tenaga berlomba dengan sesamaku, memperebutkan tempatku di dalam perut Ibu. Aku berlari hingga lelah, lalu patah. Hampir aku menyerah.
“Hei, jangan harap kami akan mengalah” kata mereka ketika aku hampir sampai. Aku tersenyum bangga.
“Dan aku akan berjuang sampai mati” jawabku, sambil terus berenang.
Rasanya tubuhku hampir mati, tak tahan lagi menahan rasa lelah ini. Tapi kemudian aku membayangkan wajah Ibu, dan ia tersenyum, seolah memberiku semangat. Aku terus bergerak, hingga payah. Aku terjatuh, ekorku patah. Teman-temanku melihatku dengan kesal, mengumpat. Mereka pasti iri. Aku telah berada di dalam tempat suci, dan akan menjadi seseorang yang bisa menapaki dunia suci. Selama beberapa minggu aku bertahan, menghadapi segala hal memuakan. Harus membelah diri, merasakan perih setiap hari. Tapi bayangan wajah Ibu memberiku rasa semangat. Bayangan teman-temanku yang mati, masih tergambar jelas.
“Aku akan bertahan hingga mati” bisikku pada mereka.
Aku terus menahan teriakan ketika tubuhku terus dipaksa membelah, merekah, dan tumbuh. Detik berlalu, jam berganti. Hari-hari datang, lalu berganti minggu. Aku berteriak girang. Mengabarkan pada Ibu dengan rasa mual. Aku berharap Ibu akan mengelusku dan mengecupku, berkata jika aku telah lama ditunggu.
“Kenapa jadi begini?” ia menangis dalam kamar mandi. Melemparkan tinjunya ke cermin, membuat tangannya robek dan berdarah. Aku memandanginya dengan khawatir.
“Apa aku punya salah?” bisikku dalam hening. Perjuanganku hingga hampir mati dan rasa sakit ini menjadi derita bagi Ibu. Jerih payah dan doaku pada Tuhan agar aku dilahirkan hanya membuat Ibu semakin merana. Ia mengerang dan menjerit. Ia melihat tangannya yang berdarah dengan kesal. Ia mengambil kaca, berusaha mengiris nadinya. Aku berteriak, memperingatkan. Tapi ia telah berdarah dan jatuh pingsan. Orang-orang berlarian, membawa Ibu ke rumah sakit.
Semuanya menangis, mengutukiku. “Bocah sialan” kata wanita tua itu sambil menangis. Aku memandanginya, memperhatikannya dengan seksama. Berusaha merasakan duka yang merayap di dalam sana. Aku ingin terbang dan memeluk mereka. Jika bisa, aku ingin meminta Tuhan menunda kehadiranku. Memasukkanku kembali pada tubuh lelaki itu. Lelaki yang kemudian berteriak marah dan menampar Ibu dengan keras. Tetapi Tuhan hanya tersenyum dan memintaku untuk tinggal dan bertahan.
Ah, Tuhan...barangkali Engkau salah alamat, mereka tak membutuhkanku. Apa jerih payahku hanya menghasilkan kesia-siaan? Apa harapanku tidak cukup baik untuk diwujudkan?
Aku ingin melihat alam dan hutan. Burung. Barangkali bunga. Merasakan canggihnya modem dan berkelana. Atau segala melodi yang menyejukkan jiwa. Atau mungkin bermain politik dengan koruptor ? Atau meengikuti lomba. Apa itu dosa, Tuhan?
Lelaki itu membawa Ibu ke tempat mengerikan ini. Mengumpat padanya dan menyalahkanku lagi. Aku tidak mengerti. Lelaki itu terus membujuk Ibu dengan kata-kata manis. Membual soal cinta. Berkata tentang tanggung jawab. Berkata jika ia akan setia. Karena cinta, itu katanya. Kemudian ia berniat menghabisi tanda cintanya? Menghabisiku yang telah berjuang sekian lama, dan hanya mendapati diri sebagai sampah tak berguna.
Ibu merintih, darah masih mengalir dari tubuhnya, lalu satu per satu bagian tubuhku dikeluarkan. Sebuah mata, yang belum sempat berkembang dan diizinkan melihat dunia, telah pecah dan berlumur darah. Aku menyentuhnya, membiarkan jiwaku merayap bersama kehancurannya.
“Buang dia di tempat biasa” kata lelaki bodoh yang memegang pemecah kepala. Ia mengusap keringatnya. Mengalirkan darah ke dalam jas bodohnya. Ia memandangiku, kemudian bergidig, jijik. Dan aku berakhir di sebuah kantong plastik. Dikubur bersama janin-janin lain, yang terus mengerang dan merintih kesakitan.
Berjuang lalu dibuang. Menanti lalu dihabisi. Tapi aku belum mati! Jangan biarkan aku mati!
3 komen:
Aku semakin yakin bahwa cinta saja tidfak cukup. Cinta berdiri sendiri hanya bernilai sembilan. Yang kesepuluh adalah tanggung jawab.
betul...
nilai 9?
ga deh...cinta ga boleh sebesar itu, maksimal nilainya 5, karena kalo lebih dari itu, kita akan semakin terjebak dan gak bisa keluar lagi *pengalaman pribadi, hhiii...kamu ngerti yang aku maksud kan?
Menurutku nilainya sembilan, yang kesepuluh adalah tanggungjawab :D
ya ya ya aku ngerti maksudmu
Posting Komentar