yang udah berkunjung

Diberdayakan oleh Blogger.

MAKASIH KUNJUNGANNYA, MAMPIR LAGI YA...

Minggu, 16 November 2014

Pulang

sumber gambar : http://www.dailysylvia.com/

 “Saya ini dokter gigi, Pak. Bukan pada tempatnya Bapak meminta obat panu pada saya. Apalagi meminta saya mencukur rambut bapak. Lagipula Bapak kan sudah gundul, apa lagi yang bisa dicukur?”
Laki-laki tua itu hanya tersenyum tanpa menjawab. Apakah ia mengerti apa yang kumaksud?
“Sekarang begini saja, saya akan kasih nama dokter kenalan saya. Bapak bisa menghubungi dia 24 jam,” kataku sambil memberikan kartu nama lusuh di dalam saku.
Benda ini bukan milikku. Hanya milik lelaki pembohong yang sudah kunikahi, dan akan kuceraikan karena belangnya ketahuan. Kartu nama itu kebetulan kutemukan saja di dalam kantong celananya, saat ia sedang mabuk. Dokter umum ini, namanya Cicilia, adalah selingkuhan teman seranjangku setahun terkahir. Sudah seminggu aku menyimpan kartu nama itu, menunggu waktu yang tepat untuk melabraknya.
“Dok...saya juga sakit jantung!” ucap pria itu saat suasana mulai hening.
Tuh kan, gila! Biar...biar Cicilia ikut gila menghadapi dia.
 “Kalau teman dokter ini juga tidak bisa menyembuhkan saya, apa saya akan mati?” tanyanya dengan wajah yang sedih dan tak berdaya.
Kerut-kerutan di wajahnya tampak lebih jelas kini.
“Bapak sudah menemui saya 6 kali pak. Pertama, sakit gigi, lalu kanker tenggorokan, hemmm....lalu nyeri sendi, dan buta tiba-tiba. Bapak juga HIV dan gagal ginjal. Apa bapak pikir, seseorang dengan komplikasi sebanyak itu, dapat bertahan hidup lebih lama?” ujarku tanpa rasa bersalah.
Lelaki ini harus kusingkirkan. Aku bosan digoda dengan alasan mengada-ada. Apa dia pikir, seorang gadis berusia 30 tahun, yang baru saja dikhianati suaminya, akan sebegitu putus asanya dan menerima cinta lelaki tua seperti dia?
“Di masa lalu, saya dan Anda adalah kekasih. Kita berjanji untuk terlahir kembali sebagai sepasang suami istri, tapi pada saat arwah-arwah dikembalikan ke dunia, Anda menghilang dan baru ditemukan 40 tahun kemudian oleh para malaikat. Jadilah perbedaan usia kita sangat jauh. Tapi cinta adalah sesuatu yang tidak bisa terputus bukan?”
“Kalau begitu, Bapak bisa meninggal duluan, dan saya akan menyusul Anda sesegera mungkin. Jadi, di kehidupan selanjutnya, kita dapat kembali terlahir sebagai suami istri pada saat yang tepat. “
Laki-laki itu diam sejurus, lalu hening.
“Tapi, sekarang saya sudah mati...dokter.”
***
“Dokter....dokter...”
Kepalaku rasanya berat.
“Dokter...”
Perawat Uthe memandangiku dengan cemas. Ia berkata bahwa aku baru saja berteriak dan meminta tolong.
“Ada apa dokter?”
Tiga hari terakhir aku memimpikan hal yang sama, dengan kejadian, urutan dan tokoh yang serupa.
 “Menurutmu, apakah mimpi bisa berarti sesuatu?” tanyaku saat napasku sudah kembali teratur.
“Itu bisa merupakan firasat, kembang tidur atau gangguan jin dok. Tapi teman saya yang psikolog juga berkata, mimpi bisa jadi adalah cerminan kondisi kejiwaan orangnya.”
“Cerminan apa?” aku hanya tertawa. Aku bahkan bukan dokter gigi, suster.
“Oh iya dok, saya kesini untuk melaporkan, pasien dokter yang bernama Renaldi, kemarin meninggal, saat dokter ijin bertugas. Pasien bunuh diri, Dok!”
Lalu Uthe menjelaskan tentang keadaan Renaldi dan beberapa pasien lain yang berada di dalam pengawasanku, karena 5 hari ini aku absen.
“Ya...ya, saya mengerti suster, akan segera saya tindak lajuti. Terima kasih.”
“Kalau begitu saya permisi, dok,” katanya, sebelum pergi.
Aku memijat kepalaku sendiri. Ini bahkan belum malam. Tidak seharusnya aku tertidur pada saat jam tugas. Barangkali aku lelah. Terlalu banyak yang terjadi akhir-akhir ini. Aku keguguran. Mungkin karena terlalu banyak bekerja. Menjadi dokter di ruang UGD bukan sesuatu yang mudah. Aku harus segera bergegas, tak kenal waktu, harus berlari setiap kali panggilan datang. Satu atau dua detik dapat menentukan apakah nyawa seseorang akan terselamatkan atau tidak.
Pasen Renaldi adalah korban penganiayaan oleh orang yang tidak dikenal, dengan luka di beberapa bagian tubuh yang vital, termasuk wajah. Usianya 70 tahun, tapi ia tampak lebih muda. Barangkali karena kepalanya gundul, sehingga ubannya sama sekali tak terlihat.
Tanganku gemetar sewaktu pertama kali melihat Renaldi datang saat senja kala. Ada besi yang ditanam di pundak korban dengan posisi horizontal, dan bergerak setiap kali dia menarik dan menghembuskan napas. Ia tak menangis meski penderitaannya, barangkali tak akan sanggup ditanggung oleh kebanyakan dari kami.
Tanganku terus bergerak, memeriksa keadaannya secara keseluruhan. Memastikan apa saja langkah yang dapat kami lakukan untuk menyelamatnya nyawanya. Peralatan-peralatan vital, seperti alat bantu pernapasan mulai dipasang, sementara aku meminta beberapa perawat menyiapkan ruang bedah, dan memanggil dokter khusus bedah untuk melakukan operasi. Jika besi itu dapat dikeluarkan tepat pada waktunya, dia masih bisa diselamatkan.
Kami bergerak dengan cepat melewati lorong-lorong rumah sakit yang sepi dan gelap. Wajah-wajah cemas, berkeringat dan takut, ada diantara kami, meski Renaldi, pasien kamilah yang justru terlihat paling tenang. Aku bertanya-tanya, apa yang sedang ia rasakan. Sampai aku melihat kakek itu menatapku. Gelap, Sendu.
Dan demi Tuhan, itu adalah sorot mata yang tak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Bukan pandangan benci atau marah. Hanya tatapan yang hening, kusut dan kelabu. Saat manusia kehilangan harapan. Bahkan saat operasi sukses dilakukan, saat aku memeriksa keadaannya beberapa hari setelahnya, sorot matanya tetap sama.
Aku bertanya tentang siapa pelaku pembunuhannya, dan dia tak menjawab apa-apa. Hari itu, polisi mulai berdatangan untuk menanyainya. Aku meninggalkan ruangan pasien, meski sebagian jiwaku ingin tetap memantau kondisinya.
Saat itulah, tiba-tiba perutku terasa melilit. Aku berlari ke kamar mandi, memeriksa apa yang terjadi. Darah. Darah dimana-mana. Kandunganku! Aku berlari menemui dokter Hanadi, memohon agar ia memeriksa calon bayiku. Aku menangis dan merintih, lalu diam, dan tak bisa berekspresi lagi saat dokter berkata, putraku telah pulang ke rumah Tuhan. Barangkali seperti itu juga rasanya saat kehilangan nyawa, ya? Tak terasa sampai kita kehilangannya. Kenapa Renaldi memutuskan untuk bunuh diri? aku terus bertanya-tanya, meski aku ingin melakukan hal yang sama.


separador

0 komen:

Cari

profil

Foto saya
seolah hitam, padahal kelabu.

sahabat

Blog Archive

Categories