sumber gambar : http://www.dailysylvia.com/ |
“Saya ini dokter gigi, Pak. Bukan pada tempatnya
Bapak meminta obat panu pada saya. Apalagi meminta saya mencukur rambut bapak. Lagipula
Bapak kan sudah gundul, apa lagi yang bisa dicukur?”
Laki-laki
tua itu hanya tersenyum tanpa menjawab. Apakah ia mengerti apa yang kumaksud?
“Sekarang
begini saja, saya akan kasih nama dokter kenalan saya. Bapak bisa menghubungi
dia 24 jam,” kataku sambil memberikan kartu nama lusuh di dalam saku.
Benda
ini bukan milikku. Hanya milik lelaki pembohong yang sudah kunikahi, dan
akan kuceraikan karena belangnya ketahuan. Kartu nama itu kebetulan kutemukan
saja di dalam kantong celananya, saat ia sedang mabuk. Dokter umum ini, namanya
Cicilia, adalah selingkuhan teman seranjangku setahun terkahir. Sudah seminggu
aku menyimpan kartu nama itu, menunggu waktu yang tepat untuk melabraknya.
“Dok...saya
juga sakit jantung!” ucap pria itu saat suasana mulai hening.
Tuh kan, gila! Biar...biar
Cicilia ikut gila menghadapi dia.
“Kalau teman dokter ini juga tidak bisa
menyembuhkan saya, apa saya akan mati?” tanyanya dengan wajah yang sedih dan
tak berdaya.
Kerut-kerutan
di wajahnya tampak lebih jelas kini.
“Bapak
sudah menemui saya 6 kali pak. Pertama, sakit gigi, lalu kanker tenggorokan,
hemmm....lalu nyeri sendi, dan buta tiba-tiba. Bapak juga HIV dan gagal ginjal.
Apa bapak pikir, seseorang dengan komplikasi sebanyak itu, dapat bertahan hidup
lebih lama?” ujarku tanpa rasa bersalah.
Lelaki
ini harus kusingkirkan. Aku bosan digoda dengan alasan mengada-ada. Apa dia
pikir, seorang gadis berusia 30 tahun, yang baru saja dikhianati suaminya, akan
sebegitu putus asanya dan menerima cinta lelaki tua seperti dia?
“Di
masa lalu, saya dan Anda adalah kekasih. Kita berjanji untuk terlahir kembali
sebagai sepasang suami istri, tapi pada saat arwah-arwah dikembalikan ke dunia,
Anda menghilang dan baru ditemukan 40 tahun kemudian oleh para malaikat. Jadilah
perbedaan usia kita sangat jauh. Tapi cinta adalah sesuatu yang tidak bisa
terputus bukan?”
“Kalau
begitu, Bapak bisa meninggal duluan, dan saya akan menyusul Anda sesegera
mungkin. Jadi, di kehidupan selanjutnya, kita dapat kembali terlahir sebagai
suami istri pada saat yang tepat. “
Laki-laki
itu diam sejurus, lalu hening.
“Tapi,
sekarang saya sudah mati...dokter.”
***
“Dokter....dokter...”
Kepalaku
rasanya berat.
“Dokter...”
Perawat
Uthe memandangiku dengan cemas. Ia berkata bahwa aku baru saja berteriak dan meminta
tolong.
“Ada
apa dokter?”
Tiga
hari terakhir aku memimpikan hal yang sama, dengan kejadian, urutan dan tokoh
yang serupa.
“Menurutmu, apakah mimpi bisa berarti sesuatu?”
tanyaku saat napasku sudah kembali teratur.
“Itu
bisa merupakan firasat, kembang tidur atau gangguan jin dok. Tapi teman saya
yang psikolog juga berkata, mimpi bisa jadi adalah cerminan kondisi kejiwaan
orangnya.”
“Cerminan
apa?” aku hanya tertawa. Aku bahkan bukan dokter gigi, suster.
“Oh
iya dok, saya kesini untuk melaporkan, pasien dokter yang bernama Renaldi,
kemarin meninggal, saat dokter ijin bertugas. Pasien bunuh diri, Dok!”
Lalu
Uthe menjelaskan tentang keadaan Renaldi dan beberapa pasien lain yang berada
di dalam pengawasanku, karena 5 hari ini aku absen.
“Ya...ya,
saya mengerti suster, akan segera saya tindak lajuti. Terima kasih.”
“Kalau
begitu saya permisi, dok,” katanya, sebelum pergi.
Aku
memijat kepalaku sendiri. Ini bahkan belum malam. Tidak seharusnya aku tertidur
pada saat jam tugas. Barangkali aku lelah. Terlalu banyak yang terjadi
akhir-akhir ini. Aku keguguran. Mungkin karena terlalu banyak bekerja. Menjadi
dokter di ruang UGD bukan sesuatu yang mudah. Aku harus segera bergegas, tak
kenal waktu, harus berlari setiap kali panggilan datang. Satu atau dua detik
dapat menentukan apakah nyawa seseorang akan terselamatkan atau tidak.
Pasen
Renaldi adalah korban penganiayaan oleh orang yang tidak dikenal, dengan luka
di beberapa bagian tubuh yang vital, termasuk wajah. Usianya 70 tahun, tapi ia
tampak lebih muda. Barangkali karena kepalanya gundul, sehingga ubannya sama
sekali tak terlihat.
Tanganku
gemetar sewaktu pertama kali melihat Renaldi datang saat senja kala. Ada besi
yang ditanam di pundak korban dengan posisi horizontal, dan bergerak setiap
kali dia menarik dan menghembuskan napas. Ia tak menangis meski penderitaannya,
barangkali tak akan sanggup ditanggung oleh kebanyakan dari kami.
Tanganku
terus bergerak, memeriksa keadaannya secara keseluruhan. Memastikan apa saja
langkah yang dapat kami lakukan untuk menyelamatnya nyawanya. Peralatan-peralatan
vital, seperti alat bantu pernapasan mulai dipasang, sementara aku meminta beberapa
perawat menyiapkan ruang bedah, dan memanggil dokter khusus bedah untuk melakukan
operasi. Jika besi itu dapat dikeluarkan tepat pada waktunya, dia masih bisa
diselamatkan.
Kami
bergerak dengan cepat melewati lorong-lorong rumah sakit yang sepi dan
gelap. Wajah-wajah cemas, berkeringat dan takut, ada diantara kami, meski
Renaldi, pasien kamilah yang justru terlihat paling tenang. Aku bertanya-tanya,
apa yang sedang ia rasakan. Sampai aku melihat kakek itu menatapku. Gelap, Sendu.
Dan
demi Tuhan, itu adalah sorot mata yang tak akan pernah kulupakan seumur
hidupku. Bukan pandangan benci atau marah. Hanya tatapan yang hening, kusut dan
kelabu. Saat manusia kehilangan harapan. Bahkan saat operasi sukses dilakukan, saat
aku memeriksa keadaannya beberapa hari setelahnya, sorot matanya tetap sama.
Aku
bertanya tentang siapa pelaku pembunuhannya, dan dia tak menjawab apa-apa. Hari
itu, polisi mulai berdatangan untuk menanyainya. Aku meninggalkan ruangan
pasien, meski sebagian jiwaku ingin tetap memantau kondisinya.
Saat
itulah, tiba-tiba perutku terasa melilit. Aku berlari ke kamar mandi, memeriksa
apa yang terjadi. Darah. Darah dimana-mana. Kandunganku! Aku berlari menemui
dokter Hanadi, memohon agar ia memeriksa calon bayiku. Aku menangis dan
merintih, lalu diam, dan tak bisa berekspresi lagi saat dokter berkata, putraku
telah pulang ke rumah Tuhan. Barangkali seperti itu juga rasanya saat
kehilangan nyawa, ya? Tak terasa sampai kita kehilangannya. Kenapa Renaldi
memutuskan untuk bunuh diri? aku terus bertanya-tanya, meski aku ingin
melakukan hal yang sama.
0 komen:
Posting Komentar