Lelaki itu
memejamkan mata. Seperti mengantuk. Atau ia sudah tidur, tak ada yang tahu
pasti. Dan bahkan tak ada yang tak peduli. Tidur ataupun jaga, dia tetap harus
bercerita.
Lelaki tua
dengan dua buah tahi lalat di hidungnya itu masih diam. Ketika matanya
membelalak, ia melihat dirinya masih dikerubuti bocah-bocah, dibelai dan
dielus. Mereka mengusiknya. Lalu memintanya untuk bercerita.
Lelaki itu
hampir kehabisan akal. Dia ingin menghentikan cerita dan meminta mereka pulang.
Biar emak dan bapaknya tak berteriak dan menggedor-gedor rumahnya dan meminta
mereka pulang. Tetapi, entah dikendalikan oleh apa, lelaki itu mulai
membelai-belai kepala bocah-bocah itu, meminta mereka membuat lingkaran dan
mendengarkan dengan baik.
Ia kembali
bercerita. Mendongeng lagi. Entah sudah berapa kali. Dan entah untuk berapa
kali lagi. Sejujurnya, lelaki itu lelah. Ia bosan mendongeng. Dia lelah. Lebih
dari kelelahan yang menjelma keringat atau peluh dalam tubuhnya. Bosan. Lebih
dari segala perasaan yang dimiliki lelaki pada pacar atau istrinya. Lebih dari
segala kelelahan yang ada di dunia ini. la bosan menjamahi dunia.
Karena pada
akhinya, bocah-bocah itu akan melupakannya. Dongeng-dongengnya.
Tapi, sebosan
apapun ia. Semuak apapun pada kehidupan. Dia tetap saja terus bercerita. Hingga
pada suatu ketika, seorang anak menunjuk-nunjuk kaca yang berada di dinding rumahnya.
“Itu, buat apa
Kek?” tanya seorang gadis dengan gingsul di mulutnya.
“Kamu akan
melihat orang-orang yang jujur di dalam sana, asal kamu menjulurkan lidah“ lalu
anak-anak berbondong-bondong untuk melihat ke dalam cermin. Kemudian saling
menertawakan karena melihat wajah mereka terlihat begitu jenaka. Dan gadis
dengan gingsul itulah yang paling keras tawanya. Dia melihat wajahnya dengan
begitu jelas.
Lelaki tua itu
memandangi mereka dengan senyuman kecil. Senyum yang tak pernah hilang dari
sudut bibirnya. Sekali pun rasa lelah itu benar-benar membuatnya bosan untuk
bertahan dan terus bercerita. Tetapi, saat ia melihat tawa mereka di dalam
cermin, ia semakin merasa penuh. Terisi oleh semangat lagi.
Semakin mereka
bermain, semakin lebar senyuman si kakek. Di dalam penglihatannya, kaca itu
menjadi semakin terang. Namun, seperti juga beberapa tahun sebelumnya, mereka
akan terus berkurang jumlahnya. Bocah-bocah itu tak terlihat lagi di dalam
cermin. Lalu, rumahnya menjadi sepi.
Mungkin sudah
dua puluh tahun. Ya, usia si kakek sudah bertambah dua puluh tahun. Sudah
semakin jarang yang mengunjungi rumahnya. Namun pada hari itu, rumahnya diketuk
seseorang. Seorang wanita. Dia mengucap salam, kemudian memasuki rumah Kakek
itu.
Dan seperti
halnya tamu-tamu si kakek yang lain, wanita itu pun terpesona pada ketajaman
cahaya cermin itu. Cermin yang menempel di dinding. Dia terdiam beberapa saat.
Beberapa kali menjelma patung. Terdiam dan beku. Tenggelam dalam pikiran. Silau
akan pesona cermin itu.
“Apa
aku bisa memilikinya?” tanyanya kepada si lelaki tua. Di hidungnya masih ada
dua buah tahi lalat. Dia tak tersenyum awalnya, kemudian sudut bibirnya
meruncing. Lalu wanita
itu pun meruncingkan sudut bibirnya sehingga gingsul di bibirnya terlihat
jelas.
“Ya,
tentu saja. Tapi, kau tidak akan menemukan apapun di dalam sana”
Wanita
itu mengernyitkan keningnya. Karena perasaran, wanita itu melihat cermin. Dan
ia terkaget-kaget karena tidak menemukan bayangan apapun di dalam sana.
Belum
habis keterjekutannya, tiba-tiba seorang gadis kecil berlari ke arah keduanya.
Ia memperhatikan cermin itu, kemudian menampakkan gigi-gigi susunya yang
geripis. Menjulurkan lidah di depan cermin dan melihat bayangannya sendiri di
dalam sana. Kakek tua itu meruncingkan sudut bibirnya.
“Apa
dia putrimu?” wanita itu terlihat gugup. Keringat mengalir di keningnya.
“Bukan!
Manamungkin gadis sepertiku sudah memiliki anak. Dia Adikku!”
***
Diam-diam,
gadis kecil itu memandangi wajah wanita itu. Seorang wanita karier yang sukses.
Seorang tokoh masyarakat. Seorang wanita lajang.
“Itu kampung
halaman, Mama kan?”
Yogyakarta, 10 November 2011
0 komen:
Posting Komentar