yang udah berkunjung

Diberdayakan oleh Blogger.

MAKASIH KUNJUNGANNYA, MAMPIR LAGI YA...

Minggu, 15 Januari 2012

CERMIN YANG BERSINAR





 
Dia tidak memulai ceritanya dengan pada suatu hari. Terlalu klasik. Terlalu klise. Ia memulainya dengan diam. Kemudian anak-anak mulai berlarian ke arahnya, menyeret-nyeret pakaiannya, kemudian mulai memohon. 

Lelaki itu memejamkan mata. Seperti mengantuk. Atau ia sudah tidur, tak ada yang tahu pasti. Dan bahkan tak ada yang tak peduli. Tidur ataupun jaga, dia tetap harus bercerita. 

Lelaki tua dengan dua buah tahi lalat di hidungnya itu masih diam. Ketika matanya membelalak, ia melihat dirinya masih dikerubuti bocah-bocah, dibelai dan dielus. Mereka mengusiknya. Lalu memintanya untuk bercerita.

Lelaki itu hampir kehabisan akal. Dia ingin menghentikan cerita dan meminta mereka pulang. Biar emak dan bapaknya tak berteriak dan menggedor-gedor rumahnya dan meminta mereka pulang. Tetapi, entah dikendalikan oleh apa, lelaki itu mulai membelai-belai kepala bocah-bocah itu, meminta mereka membuat lingkaran dan mendengarkan dengan baik. 
 
Ia kembali bercerita. Mendongeng lagi. Entah sudah berapa kali. Dan entah untuk berapa kali lagi. Sejujurnya, lelaki itu lelah. Ia bosan mendongeng. Dia lelah. Lebih dari kelelahan yang menjelma keringat atau peluh dalam tubuhnya. Bosan. Lebih dari segala perasaan yang dimiliki lelaki pada pacar atau istrinya. Lebih dari segala kelelahan yang ada di dunia ini. la bosan menjamahi dunia. 

Karena pada akhinya, bocah-bocah itu akan melupakannya. Dongeng-dongengnya.

Tapi, sebosan apapun ia. Semuak apapun pada kehidupan. Dia tetap saja terus bercerita. Hingga pada suatu ketika, seorang anak menunjuk-nunjuk kaca yang berada di dinding rumahnya.

“Itu, buat apa Kek?” tanya seorang gadis dengan gingsul di mulutnya.

“Kamu akan melihat orang-orang yang jujur di dalam sana, asal kamu menjulurkan lidah“ lalu anak-anak berbondong-bondong untuk melihat ke dalam cermin. Kemudian saling menertawakan karena melihat wajah mereka terlihat begitu jenaka. Dan gadis dengan gingsul itulah yang paling keras tawanya. Dia melihat wajahnya dengan begitu jelas.

Lelaki tua itu memandangi mereka dengan senyuman kecil. Senyum yang tak pernah hilang dari sudut bibirnya. Sekali pun rasa lelah itu benar-benar membuatnya bosan untuk bertahan dan terus bercerita. Tetapi, saat ia melihat tawa mereka di dalam cermin, ia semakin merasa penuh. Terisi oleh semangat lagi.

Semakin mereka bermain, semakin lebar senyuman si kakek. Di dalam penglihatannya, kaca itu menjadi semakin terang. Namun, seperti juga beberapa tahun sebelumnya, mereka akan terus berkurang jumlahnya. Bocah-bocah itu tak terlihat lagi di dalam cermin. Lalu, rumahnya menjadi sepi.

Mungkin sudah dua puluh tahun. Ya, usia si kakek sudah bertambah dua puluh tahun. Sudah semakin jarang yang mengunjungi rumahnya. Namun pada hari itu, rumahnya diketuk seseorang. Seorang wanita. Dia mengucap salam, kemudian memasuki rumah Kakek itu.

Dan seperti halnya tamu-tamu si kakek yang lain, wanita itu pun terpesona pada ketajaman cahaya cermin itu. Cermin yang menempel di dinding. Dia terdiam beberapa saat. Beberapa kali menjelma patung. Terdiam dan beku. Tenggelam dalam pikiran. Silau akan pesona cermin itu.
         
          “Apa aku bisa memilikinya?” tanyanya kepada si lelaki tua. Di hidungnya masih ada dua buah tahi lalat. Dia tak tersenyum awalnya, kemudian sudut bibirnya meruncing. Lalu wanita itu pun meruncingkan sudut bibirnya sehingga gingsul di bibirnya terlihat jelas.

            
       “Ya, tentu saja. Tapi, kau tidak akan menemukan apapun di dalam sana”
      
      Wanita itu mengernyitkan keningnya. Karena perasaran, wanita itu melihat cermin. Dan ia terkaget-kaget karena tidak menemukan bayangan apapun di dalam sana.


        Belum habis keterjekutannya, tiba-tiba seorang gadis kecil berlari ke arah keduanya. Ia memperhatikan cermin itu, kemudian menampakkan gigi-gigi susunya yang geripis. Menjulurkan lidah di depan cermin dan melihat bayangannya sendiri di dalam sana. Kakek tua itu meruncingkan sudut bibirnya.

“Apa dia putrimu?” wanita itu terlihat gugup. Keringat mengalir di keningnya. 

“Bukan! Manamungkin gadis sepertiku sudah memiliki anak. Dia Adikku!”

***
Diam-diam, gadis kecil itu memandangi wajah wanita itu. Seorang wanita karier yang sukses. Seorang tokoh masyarakat. Seorang wanita lajang.

“Itu kampung halaman, Mama kan?”

              Yogyakarta, 10 November 2011

separador

0 komen:

Cari

profil

Foto saya
seolah hitam, padahal kelabu.

sahabat

Blog Archive

Categories