“Ibu akan mencincangku menjadi 7 keping.” Gumam gadis itu sambil mengetuk pintu rumah.
“Apalagi yang kau lakukan?”
“Bersama berandalan, apalagi?”
Ibu berlari kearahnya, kemudian menghujankan handuk ke kepalanya. Berusaha mengeringkannya dengan usapan-usapan lembut. Entah apa yang sebenarnya mengganjal bibir wanita itu. Selalu mengumpat dan murka, tapi tangannya hanya mengalirkan belai dan elusan. Entah apa yang ada di dalam dirinya. Ia berusaha menjadi iblis, tapi ia cuma bisa jadi malaikat manis.
“Bukankah ibu sudah bilang, jangan keluar malam. Kalau kau sakit karena kehujanan, apa kau pikir aku sudi merawatmu?”
“Mereka bilang kita akan di usir besok malam” kata gadis itu dengan mata hening, kosong.
“Kenapa?” mereka saling berpandangan,bertukar pikiran dalam diam beberapa saat, sebelum gadis itu kembali membuka mulutnya dengan berani. Keduanya memandangi bulan purnama, sinarnya membelai pipi wanita tua itu. Semburat ayu masih tampak disana, melebihi kecantikan putrinya sendiri. Barangkali itulah yang membuat seorang pejabat pemerintah tergoda.
“Alasan yang sama. Apa perlu aku cerita?”
Orang bilang wanita itu seorang nyai. Tak pernah ada yang tahu pasti kebenarannya kecuali kenyataan jika ia selalu membuang dupa di sungai di pagi hari setiap kali seseorang jatuh sakit dan mengeluhkan perutnya.
***
Gadis itu memunguti paku-paku bekas, bersama berandalan yang kurus kering di depan sebuah bangunan setengah jadi. Mereka akan menjualnya pada pengepul, dan jajan di warung dengan itu.
“Katanya mau dibangun diskotik” kata berandalan itu
“Diskotik lagi? Jangan-jangan kali ini bom bakal meledak di kampung kita”
“Siapa yang mau ngebom? Teroris? Kayak yang di Bali?”
“Iya, siapa lagi?”
“Sekarang kan udah tambah lagi, bukan diskotik sasarannya.”
“Sok tahu. Emangnya kamu bisa baca pikiran mereka?”
“Dulu mereka menyerang diskotik, sekarang menyerang ilmu. Bukanya ada kasus bom buku? Apa kamu ga dengar? Sasaran mereka sudah berpindah, jangan-jangan besok meledak di rumahmu”
Berandalan itu berusaha membuat guyonan, tetapi gadis itu hanya meresponnya dengan wajah datar.
“Tidak, sasaran mereka tetap serupa.”
“Apa memangnya?” gadis itu terkekeh girang.
“Ya meneror, namanya juga teroris” kemudian ia tertawa lagi.
Tiba-tiba seorang pria tua tiba. Di raut wajahnya terlukis kesombongan dan kekejian. Ia memandangi paku-paku karatan yang mereka kumpulkan. Ia mencengkram lengan gadis itu. Menusuknya dengan pandangan matanya.
“Jadi, dari sini paku-paku di perut mereka berasal?” ia menunjuk kuli-kuli bangunan yang tengah kelelahan.
“Untung saja ada dukun yang lebih hebat” tambahannya.
Kara, nama berandalan itu. ia menyingkirkan tangan pria, kemudian balas melukai pria itu dengan matanya. Ia berusaha melindungi gadis itu, tetapi yang tampak hanyalah aksi dramatis. Seperti seekor induk kijang yang menghalau singa, mengalihkan perhatiannya dari anaknya. Tetapi singa itu malah memakan induk kijang.
Gadis itu menamparnya dengan mata berair.
“Sudah kubilang, jangan lakukan. Apa kamu tidak bisa diam?”
***
Keduanya berpelukan, hangat dan lekat. Orang bilang seperti perangko dan amplop surat, tetapi tidak, tidak demikian. Keduanya lebih lekat. Si gadis melekat dalam rahimnya selama 9 bulan, dan kini ia melekat dalam kasih ibunya sepanjang zaman.
“Bukannya kita harus siap-siap pergi? Nanti kita diusir tanpa sempat bawa apa-apa lagi” gadis itu merebahkan kepalanya lebih dalam. Tangan wanita itu mengelus kepala anaknya, kemudian membentaknya, untuk segera membereskan pakaian yang harus ia bawa pergi nanti malam, sebelum orang-orang datang.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Pintu itu. Wanita itu berdiri, membukakan kunci, kemudian menyuruh anak gadisnya pergi.
Berandalan itu telah berdiri di ambang pintu dengan senyum pongah.
“Temani aku jalan-jalan” katanya dengan senyuman lebar.
Langkah kaki kami berhenti di depan bangunan setengah jadi itu. Diam. Kemudian gaduh. Hening. Kemudian kembali ribut.
“Nanti malam, aku akan pergi”
Keduanya diam dalam hening. Barangkali mereka lelah bercakap-cakap, karena tak pernah ada dialog
yang berkesudahan jika keduanya mulai bicara, berdiskusi. Setelahnya, kepala mereka akan di penuhi memori-memori yang memantul-matul di kepala mereka seperti bola basket, menimbulkan suara nyaring. Dan nama lawan diskusinyalah yang terdengar dari sana.
“Kurasa aku menyukaimu” kata Kara padanya.
Gadis itu belum sempat merespon, kemudian mereka melihat kobaran api. Melahap perkampungan itu dengan rakus. Gadis itu berusaha berlari ke arah perkampungan itu, tetapi tanga Kara menahannya.
“Mentari, sudahlah. Lepaskan itu”
“Apa maksudmu?”
“Ibumu yang menyuruhku membawamu lari” Mentari berteriak-teriak dan mengumpat. Ibunya mengorbankan dirinya.
“Ibumu ingin kamu selamat. Orang-orang kampung itu hanya mengincar Ibumu, tapi kau mungkin bisa menjadi korban juga jika terus di sana” kata Kara dengan wajah tertunduk.
Sementara Mentari telah berlari, menyusuri jalanan yang penuh dengan kobaran api, mencari-cari sosok Ibu yang ia sayangi. Kemudian, ia menemukan tubuh yang hangus, diantara reruntuhan.
Rumahnya hangus, hancur, lebur bersama tanah. Ia menangis semalaman, seolah kebakaran itu akan kasihan dan membawa kembali Ibunya dari jurang kematian.
Kara memperhatikannya dari kejauhan, membiarkan Mentari memuaskan drinya dengan tangisan. Sampai tiba-tiba pria itu datang lagi.
Matanya sama mengerikannya dengan tempo hari. Hanya saja, kali ini ia terkekeh. Sementara Mentari melemparinya dengan puing-puing yang terbakar.
“Kau salah bunuh orang, aku yang sebenarnya nenek sihir. Aku nyai yang kalian semua cari” kata
Mentari dengan tangis yang semakin tak terdengar, semakin dalam.
“Bunuh saja aku! Bakar aku! Bakar! Bakar!Bejo, bakar saja aku!” teriaknya pada pria itu. Hanya saja, pria itu malah tertawa.
“Dasar goblok! Mana ada yang namanya tukang sihir di zaman ini. Kepalamu kosong ya?”
Mentari mengehentikan tangisnya, memandang lelaki itu dengan tajam, liar dan penuh dendam.
“Lalu, kenapa kalian membunuhnya?”
“...”
“Kau yang memfitnah Ibuku ya?” kali ini Bejo tertawa lagi.
“Kau juga yang membawa dupa di rumah kami setiap bulan purnama, lalu kau warga sakit perut. Kau bilang mereka kena santet, begitukah? Dan kau salahkan Ibuku?”
Pria itu tertawa lagi, semakin ngeri. Mentari berusaha mencabiknya dengan kuku-kukunya, sebelum Kara datang dan melerai keduanya.
Pria brengsek itu membenarkan pakainya yang lusuh karena murka gadis itu, kemudian ia bergumam. Menggumamkan sesuatu yang tak seharusnya. Lalu nyala mata Mentari kembali bersinar, semakin besar dari sebelumnya, hingga tampak seperti halilintar. Ia akan meledakkanya di kepala seseorang.
***
Mentari memeluk Kara dengan gembira. Sebuah hot news di surat kabar di tangannya, BOM RAKITAN, MERENGGUT NYAWA GUBERNUR
“Kau gembira karena berhasil membunuh Bapakmu sendiri?” tanya Kara.
“Jika bukan karena perintah Bapakku pada si Bejo, Ibuku pasti tidak akan mati sebagai seorang suci yang dianggap nyai. Itu fitnah yang kejam”
“Ia ingin menyingkirkan Ibumu yang berbahaya”
“Iya, Ibuku bisa buka mulut sewaktu-waktu, kalau dia diperkosa biadab itu. Tapi, apa pantas kelicikan itu diberikan pada Ibuku yang lugu? Bukankah ia terus diam?”
“Sejujurnya, aku pikir Bapakmu itu orang yang cerdas”
“Bukan cerdas, tapi licik. Ia tak menggunakan tangannya untuk membunuh Ibuku. Ibu bisa meninggalkan jejaknya untuk polisi. Dalam kasus pembunuhan massal itu, siapa yang bisa di adili?” tawaku nyaring.
“Mentari, kau belum menjawab pertanyaanku”
Mentari menatap wajah Kara dengan raut bingung.
“Kenapa kau bahagia? Kau jatuh cinta pada kematian?”
Aku tertawa lagi
“Kurasa, aku berhasil menjadi tukang sihir. Aku membunuh Bapakku dengan sihir, sihir ilmu pengetahuan. Dan ia mati karena main-main dengan sihir. Itu bagus kan? dan kurasa aku jatuh cinta pada sihir, sama seperti perasaanku padamu”
Selasa, 02 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
8 komen:
bagus mega. diksimu oke....
cuma aku belum nangkep pesannya gimana. hehe maap, mungkin udah ada, tp belum dpt. jadi gimana?
makasih...
aku juga bingung, pesannya apa..hhaaa
ga ding...
aku cuma mau bilang, kalau kehidupan itu kayak cermin..
apa yang diberikan, akan memantul...hukum sebab akibat
karena si Bapak main-main dengan sihir, ya dibalas dengan 'sihir'...aneh ya? dong2...ya begitulah intinya
o gitu... nggak aneh kok , unik.
coba deh kamu sekali-kali bikin cerita horor. kayaknya bagus ga, aku pas baca itu juga agak ser-ser-an. hahaha
hah ? masa sih, padahal aku gak niat bikin takut..wkwkkw
tapi emang aku suka yang begitu, pembunuhan berantai kayaknya jga menantang..wkwkkw
bagus... sebenernya agak berat tapi kali ini aku nangkep, bahasanya keren, bisa mengalir gitu narasinya
hem..jangan2 yg kemaren2 ga nangkep ya? hhuu..nangis...wkwkw
btw, makasih ya...
Udah ga... aku request bikin cerita romance-horor gitu. hehehe. ada galau-galaunya juga ya? :p
hhaa...mandi kembang dulu ah...biar dapet inspirasi..wkwkwk
laksanakan.. :D
Posting Komentar