“Kasus langka? Apa
maksudnya kasus langka? Dia ini saksi satu-satunya yang bisa membebaskan
Patrialis dari kasus pembunuhan ketua KPK. Bagaimana mungkin bisa digugurkan.
Apa kalian ingin ada rakyat yang membredel POLISI! Dianulir kesaksiannya?
Jangan bercanda. Patrialis itu petinggi kami. Bagaimana mungkin alibinya
dilenyapkan? Hanya karena, KASUS LANGKA?” Kompol Mulyono menyalak, berteriak
dengan nada tinggi, nyinyir tentang kasus langka.
Tiga orang dewasa di
hapadannya mencoba menguatkan diri, meski suara kreket-kreket dari gigi geraham
Mulyono yang beradu satu sama lain, membuat keberanian mereka melindap.
***
“Kesaksiannya adekuat. Joko
tidak berbohong,” kata Sartini waktu itu.
Sebagai ahli
mikroekspresi, ia yakin benar kapan sebuah kebohongan dapat muncul, menilai
apakah ada unsur tekanan dan paksaan di dalam pernyataan tiap saksi, dan saat
ada pernyataan-pernyataan yang disembunyikan. Tapi, kasus kali ini benar-benar
berbeda.
Kasus-kasus lain yang
diserahkan Polisi kepadanya memang selalu unik, sebab hanya kasus tertentu yang
membutuhkan pemeriksaan psikologis. Kasus pembunuhan Ryan Jombang, kasus JIS,
sampai pembunuhan Ade Sara, ia libas seperti truk meremuk kerikil-kerikil. Kasus
Joko tidak unik, hanya saja, menjadi perhatian media massa. Sartini kembali merasa
di atas angin. Mudah, simpulnya.
Seperti halnya
kasus-kasus lain, tanpa tes bercak tinta, tes grafis atau tes non-proyektif, ia
sudah bisa menyimpulkan dari wawancara setengah-satu sesi, bagaimana kondisi
kejiwaan Joko. Hasil tes itu hanyalah pelengkap atas deduksi-deduksi yang ia
yakini, dan hasilnya selalu tidak jauh berbeda daripada hipotesis awalnya.
Kesaksian Joko adekuat.
Dengan keyakinan yang
begitu tinggi, ia iseng membuka lembar-lembar laporan medis kliennya. Tentang
riwayat penyakit, operasi dan kecelakaan yang telah Joko lakukan. Biasa! Dan
saat itulah kakinya rebah ke tanah, sementara kertas-kertas hasil pemeriksaan
medis berhamburan di sampingnya. Tatapannya mendadak kosong, dan Sartini mulai
bergumam pelan, sambil memukuli pahanya yang mulai mengendor. Ia merasa
congkak, lalu terperosok ke tanah sebagaimana sampah. Jatuh ke titik
terendah.
“Bagaimana mungkin aku
tidak memeriksa catatan medisnya juga? Bagaimana mungkin aku tidak memeriksa
riwayat penyakitnya?! Mahasiswaku akan menertawakanku sekarang,” dia
meraung-raung sendiri, dengan tangan yang mengacak-ngacak rambut dan gigi yang
gemelutuk menahan amarah.
Dua juniornya mengintip
dari luar ruangan, tempat Sartini menganalisis dalam tempat dan suasana terbaiknya.
Mereka bertanya-tanya, tapi tak ada yang berani mendekat. BAP pun sudah disusun
rapi, jadi mereka yakin apapun penyebab tantrum itu, bukan masalah profesional
penyebabnya. Jika pun karena karir, pastilah berasal dari universitasnya.
Pintu kaca terbuka
perlahan, didorong dengan kekuatan yang terlalu lemah untuk wanita seenerjik
Sartini. Mata, dagu, rambut dan mulutnya menghadap ke tegel-tegel yang berwarna
putih, lalu ia berjalan seperti seonggok karung yang tak bertulang. Melewati
meja-meja polisi, melewati saksi-saksi yang tengah memberi laporan, lalu berakhir
di hadapan dua juniornya.
“Pembuatan lesi* di otak hemispher kiri? Kenapa tidak pernah ada yang bercerita soal itu?” ia melengus.
***
Joko datang dengan
sikap malu-malu, wajah tersenyum dan sopan luar biasa. Sartini bersedekap di
hadapannya dengan pandangan yang tak ramah.
“Sekarang katakan
kepada saya Joko Sulistyo, ceritakan kepada saya apa yang Anda lakukan hari
ini?”
“Oh, hari ini saya
menemani istri saya belanja, saparan dengan sambal dan ikan yang enak, ke kamar
mandi, dan karena saya hari ini libur dari bekerja, saya seharian ini menonton
TV di rumah bersama keluarga. Dan saya juga ke sini karena ditelpon.”
“Apa yang Anda makan
hari ini?”
“Ah, hanya makanan
sederhana. Dan oh, ya, saya ingat, bukankah Anda penggemar gurameh juga? Hari
ini saya makan gurameh bakar, yang lezat dan fresh karena langsung ditangkap
dari kolamnya. Minyaknya menetes dari sela-sela daging. Ini menu baru
dari rumah makan di dekat tempat tinggal saya, dan harganya sangat murah. Ibu
bisa ke sana sekali-kali untuk mencoba. Enak sekali.”
“Apakah Anda ke
mengantarkan istri Anda dulu ke atau makan dulu?”
“Ah ya, kami sama-sama
ke pasar dan makan bersama, jadi...”
“Pada pertemuan
sebelumnya, apakah Anda ingat tentang kisah hiu yang Anda ceritakan kepada
saya?”
“Ya, tentu saja. Hiu
itu menyerang sekelompok turis asing yang sedang berenang di pantai di suasana
yang gelap.”
“Dan Anda bilang bahwa di
pantai yang sama, Anda memberikan mawar kepada calon istri Anda di hari
ulang tahunnya?”
“Ya, saya melamarnya.”
“Jadi apakah Anda
menceritakan tentang sekelompok hiu yang menyerang turis asing dulu atau melamar
lebih dulu? Anda belum menceritakan hal itu kemarin.”
“Ah...saya tidak
mengerti kenapa Anda bertanya hal itu.”
“Tolong jawab saya Pak
Joko, mana yang lebih dulu?”
“Ah, ya, ehm...” Joko
tampak kebingungan dalam menjawab, lalu ia mengguman, “Saya pikir,”
“Saya tidak butuh
analisis Anda tuan. Yang saya tanyakan adalah, hiu itu menyerang sekelompok
turis dulu, atau anda mentraktir minum dulu?”
Joko menarik napas
panjang, kemudian menyerah.
“Saya mendengar
serangan hiu terlebih dulu. Bu, ingatan orang itu terbatas. Wajar kalau saja
lupa.”
Sartini tertawa bangga.
“Sudah saya duga, Pak
Joko. Anda pikir semua itu berlangsung di hari yang sama? Hanya sekedar informasi, istri Anda sudah meninggal
setahun lalu, tapi serangan hiu itu baru terjadi minggu lalu Pak Joko. Orang
biasa mungkin akan lupa urutan kejadiannya, jika kejadiannya terjadi
bertahun-tahun lalu. Tapi, hal semacam ini hanya bisa terjadi jika Anda memang
tidak memahami urutan dan waktu kan? Jadi, bagaimana mungkin Anda bisa
mengingat...”
Joko tertegun tak
percaya.
“Baik, saya mengaku salah.
Pada saat polisi bertanya tentang apakah saya bersama dengan Patrialis, saya
memang bersama dengannya saat ambulance lewat di hadapan kami. Tapi saya tidak bisa
mengingat apakah itu sebelum ambulance sampai ke TKP, ataukah saat ambulance
pulang dari TKP. Yang jelas kami sama-sama ke TKP dan sama-sama melihat
ambulace. Saya tidak bisa mengingat bagaimana pun saya mencoba mengingat urutannya.”
“Seperti Anda tak ingat
apakah anda makan duluan atau ke kamar mandi duluan hari ini?”
Dia mendengus tak
menjawab.
“Tapi Ibu Sartini, saya
yakin Patrialis tidak akan membunuh siapapun, bahkan seekor lalat. Saya tahu,
kalau saya bersama dengan Patrialis setelah ambulance pulang dari TKP, berarti
alibinya lenyap. Tapi...”
Sartini hanya duduk dan
menggeleng-gelengkan kepala. Lagi-lagi merasa resap sebagai sampah cair di
tanah.
*Lesi=pengerukan bagian tertentu di otak melalui operasi karena masalah kesehatan.
BAP= berita acara pemeriksaan. Disiapkan untuk melengkapi proses persidangan
*Lesi=pengerukan bagian tertentu di otak melalui operasi karena masalah kesehatan.
BAP= berita acara pemeriksaan. Disiapkan untuk melengkapi proses persidangan
0 komen:
Posting Komentar