Tadi malam, saya baru saja menonton sebuah variety show dari korsel berjudul Hello
Counsellor. Wait...saya bukan
membahas demam K-pop, drama atau sebangsanya dari negeri yang selalu melaksanakan
wamil tanpa pandang bulu itu. Apa yang saya katakan adalah sesuatu yang kita
semua miliki: mimpi, impian, cita-cita. Sebuah pertanyaan yang sederhana namun
menyesakkan saya temukan: haruskah menyerah sekarang?
Dalam salah satu kasus di Hello Counsellor, ada seorang
gadis berusia 27 tahun dengan tinggi bahan sekitar 170, bermata kecil dan tampak
kurang percaya diri ketika dia berjalan. Sebuat saja Kim. Ia mengenakan celana
jeans sepaha, dengan kaos tak bermotif, dan potongan rambut sepanjang bahu. Sangat
sederhana. Di dalam acara tersebut, masing-masing peserta akan menceritakan
permasalahan yang dialami, kemudian judge
(mungkin 150 penonton) dan bintang tamu akan melakukan voting: it’s corcern or not. Orang yang memiliki
vote tertinggi akan mendapatkan hadiah sebagai imbalan.
Hari itu Kim datang untuk mendapatkan vote. Berbeda dari
kasus-kasus lain, Kim tidak menceritakan kesulitan yang dihadapinya karena
orang lain, seperti orang yang parasit, terlalu banyak omong, egois atau
mengganggu privasinya.Keinginannya sedehana: ibunya harus menyerah! Dia sudah
tidak sanggup lagi berjuang. Sudah saatnya si ibu berhenti memperjuangkan mimpi
yang sudah Kim tinggalkan. Kim yakin, sudah tidak ada kesempatan baginya
menjadi penyanyi. Dia beralasan, dia sudah cukup berusaha, tapi tidak pernah
mendapatkan hasil, dan usianya juga sudah terlalu tua untuk memulai debut
sebagai penyanyi.
Dia bercerita, menjadi penyanyi adalah impiannya sejak
sekolah menengah. Ia sudah berlatih keras, dan berkali-kali mengikuti audisi,
tetapi tidak ada satupun agensi yang menerima bakat dan mimpinya. Pada suatu
hari, seseorang dari agensi X datang dan menawarkan sebuah penawaran
menggiurkan. Seperti ketakutan kita semua, hanya mimpi yang gratis. “Uang atau
tidak ada yang bisa dilakukan untuk karirmu,” begitu katanya. Ibunya yang
berperngasilan pas-pasan, berhasil mengumpulkan uang dan menyetorkannya. Namun,
seperti banyak orang licik yang memanfaatkan keinginan orang lain, oknum itu
melakukan hal yang sama: menipu kedua orang itu. Mimpi gadis itu dihantam
sekali lagi, dan kini dia memutuskan untuk menyerah.
Kenapa harus menyerah? Coba kita dengar dulu suaranya. Dan
ya... Kim diminta untuk menunjukkan kebolehannya di depan judge, host dan bintang
tamu. Sedetik...dua detik....Dia bisa nyanyi
kok! Bisa, tapi memang tidak istimewa: itu kesimpulan saya. Ternyata, judge pun berpikiran sama. Mereka ingin Kim
menyerah. Apa artinya? “Hei Kim, menyerahlah. Sudah tidak ada kesempatan yang tersisa,”
itulah yang dikatakan ratusan orang melalui votenya.
Namun, apa itu artinya
menyerah? Menariknya dari dalam kepala dan hati, mencincang-cincang mimpi itu, lalu
mengubur dan menguncinya di dalam loker. Membuang kuncinya selama-lamanya. Itu yang
harus dilakukan. Jika tidak, mimpi yang ditinggalkan justru lebih menyeramkan.
Ia muncul dari bayang-bayang, dengan kekuatan mendesak yang lebih besar, lebih
hebat dan menyiksa daripada mimpi yang dikejar meski dengan tubuh yang sudah
payah dan koyak.
Paling tidak, itulah yang saya lihat dari ibu Kim. Ibu Kim ingin
menjadi penyanyi pada masa mudanya, lalu ia memutuskan untuk menyerah. Lalu apa
yang terjadi? Keinginan wanita setengah baya itu untuk membuat Kim menjadi
penyanyi, jauh lebih besar daripada keinginan Kim sendiri. Saya bahkan tidak
yakin, jika mimpi itu memang benar-benar berasal dari diri Kim. Jangan-jangan,
ibunya lah yang terus mendorong mimpi itu kepada putrinya. Memintanya untuk
tidak menyerah, seolah-olah sedang mengatakan hal yang sama untuk dirinya
sendiri di masa muda. Memohon agar Kim terus berjuang, meski sudah 3 tahun Kim
memutuskan untuk menyerah.
Saya bisa melihat mata ibu Kim yang basah ketika
mendapatkan hasil: putrinya harus menyerah, sementara putrinya tampak lebih tegar. Seolah-olah,
ibunyalah yang tengah dinilai. Mimpinyalah yang sedang dimusnahkan oleh kerjasama ratusan orang. Mereka memintanya
meninggalkan apa yang menurut logika, sudah tidak pantas dan tidak bisa
diperjuangkan lagi. Tapi, apakah benar, ini adalah akhir perjuangan? Inikah
saatnya untuk menyerah? Mampukah kita benar-benar menyerah tanpa digerogoti
rasa bersalah dan penyesalan di masa depan?