Sore itu terik, matahari bersinar begitu terang dan kuat. Sepertinya kertas akan terbakar jika dijemur kala itu. Seorang gadis berjalan dengan langkah gontai, menuju stasiun. Sebelumnya, tangannya telah melambai pada seseorang yang berada di jalan raya, menganggukkan kepalanya dan tersenyum lebar. Mungkin itu salam perpisahan atau semacamnya untuk orang yang mengantarnya. Sepertinya ia akan mengadakan perjalanan lumayan jauh. Hal itu tampak dari barang bawaannya, tangan kanannya memegang tas, sementara punggungnya dibabani oleh tas ukuran sedang yang tampak sesak oleh barang-barang. Mungkin dia ingin pulang kampung, seperti kebanyakan orang kala liburan semester tiba.
Matanya memandang sekeliling kemudian menghela napas panjang. “Hari ini, apa ya..yang akan terjadi?” gadis itu bergegas menuju loket pembelian tiket. Sebelum sampai, ia terdiam sejenak, menimbang-nimbang keputusan yang akan diambilnya. Naik kereta ekonomi, hem...siapa yang tahu, apa jadinya hari ini ? pikirnya sambil mengeluarkan 3 lembar uang 10ribuan.
Gadis itu menggunakan pakaian kasual, sederhana tetapi enak dipandang. Sandal bermerek menjadi pijakan kakinya. Dan sebuah jam tangan bermerek, dengan motif dan warna kalem melinkar ditangan kirinya. Dengan penampilan seperti itu, orang mabuk pun pasti tahu kalau ia seorang mahasiswa, golongan menengah keatas khususnya. Sepertinya ia sedang kesulitan uang, atau barangkali ia lagi iseng naik kereta ekonomi. Tak ada yang tahu pasti maksudnya.
Dengan langkah yang perlahan dan penuh keraguan, akhirnya ia memasuki gerbang karcis peron. Ia hanya menunjukkan sedikit bagian karcis keretanya, dan ia bisa melewati portal penjagaan itu dengan mudah. Siapa yang tahu, apa yang ia sembunyikan dibalik tasnya? Tak ada penjagaan yang ketat disana.
Lingkungan stasiun telah ramai oleh orang-orang yang pasti juga menunggu kereta kesayangannya tiba. Ia memutuskan untuk duduk disebelah seorang ibu muda yang tengah bercengkrama dengan anaknya. Sejenak ia memperhatikan keduanya, kemudian ia mengalihkan pandangannya pada novel berbahasa inggris miliknya.
Satu baris, dua paragraf, tiga lembar, empat bab telah ia baca dengan penuh konsentrasi dan kereta kesayangannya belum juga datang. Ia mendegar pengumuman jika keretanya akan segera tiba. Ia bergegas menutup novel ditangannya kemudian melirik jam tangannya, dan menemukan waktu telah menunjukkan pukul 15.00, terlambat 1 jam dari jadwal resminya. Ia menghela napas sekali lagi, ia melihat Ibu muda, sepasang kekasih, sepasang kakek-nenek, gadis-gadis, pemuda-pemuda brandal maupun yang kelihatan keren telah berdiri, bersamaan dengannya. Ketika itu petir seperti menyambar kepalanya, membuatnya menjadi pening dan nyeri. “Siapa yang tahu, seberapa sesak kondisi didalam kereta, dan belum lagi sekarag, berapa banyak yang akan masuk kedalam kendaraan itu dari sini” gumamnya sambil memandang sekeliling.
Ia harus berjejalan dengan orang-orang ketika akan menaiki kendaraan raksasa itu. Disamping kanan dan kirinya penuh dengan orang-orang, ditambah lagi arang-barang bawaan yang bahkan lebih banyak daripada yang ia bawa. Sejenak ia terdiam, kepalanya mengumpulkan banyak sekali pemikiran. Matanya memang mengintip kedalam kereta ketika kereta itu melaju didepannya, ia terus berusaha mencari tempat duduk yang kosong, tetapi yang ia temukan hanya kursi-kursi yang telah terisi. Sepertinya tak ada ruang sedikit pun untuk dirinya.
Ia berjalan memasuki gerbong kereta, memandang sekeliling. Wajah kesal dan lelah tampak disana. Ia terus mencari-cari kursi kosong, berdesak-desakan dengan penumpang lain yang juga kebingungan dan pedagang-pedagang asongan yang lalu lalang. Tas ditangan dan pundaknya benar-benar mengganggunya. “Itu tasnya mbae sih...” tukas seorang pedagang asongan dengan kening berkerut. Gadis itu diam, ada rasa kesal bergejolak didadanya. Ketika itu, sepertinya gadis itu ingin melahap hidup-hidup pedagang itu.
Suasana panas, berkeringat, bau, sesak dan berisik, apalagi yang kurang?
Perjalanan gadis itu berakhir diujung gerbong, tas punggungnya ia letakkan pada tempat penyimpanan tas penumpang, sementara tas yang berada ditangannya ia jatuhkan begitu saja disampingnya. Ia menyandarkan kepalanya, sejenak merilekskan diri. Di ujung gerbong itu ada seorang wanita, yang juga mahasiswa disana. Mereka saling berkenalan. Sejenak suasana menjadi cair, sebelum tiba-tiba kereta berhenti. Dan seorang nenek naik keatasnya.
Barang-barang berat diangkut kedalam sana. Seseorang membantunya menaikkan barang-barang. Suasana kereta yang sudah penuh sesak tampaknya mustahil untuk menerima beban lagi. Tetapi tak ada hal lain yang bisa dilakukan. Si nenek harus tetap naik ke kereta, dengan barang-barang bawaannya yang sangat banyak. Si gadis melihat nenek itu dengan mata sayu. Mata gadis itu hampir meleleh, wanita setua itu, pergi dengan banyak sekali barang bawaan sendirian, dimana anaknya ? ia terus memikirkan hal itu sebelum tiba-tiba ia memekik kesakitan karena secara tidak sengaja barang-barang itu menindih kakinya. Ada tiga jenis barang yang ia bawa, semuanya dibungkus dengan karung. Sementara barang yang menindih kakinya adalah barang yan bungkusannya paling besar. Kakinya berdenyut-denyut kesakitan. Ketika itu rasa kesal melingkupi kepalanya.
Belum habis rasa kesalnya, tiba-tiba ia mendengar keluhan dari salah seorang pedagang asongan. “Permisi mbak” kata pedagang itu pada gadis lain di ujung gerbong itu. Gadis itu telah berada di pinggir, menempelkan dirinya dengan gerbong, berusaha sebisa mungkin memberikan jalan bagi si pedagang asongan. Tetapi yang pedagang asongan itu lakukan hanya bergumam dengan bahasa jawa dengan raut kesal. Sebenarnya, siapa yang lebih berhak disini? Si penumpang? Atau si pedagang asongan? Apa yang terjadi dengan semua orang?
Tak banyak hal yang terjadi dalam perjalanan. Semua orang sibuk dengan dirinya sendiri. Mayoritas diantara mereka terlelap tidur, para lelaki merokok sambil ngobrol tanpa alur. Sementara gadis itu terus berdiri mematung, memandangi kakinya dengan tatapan kosong, barangkali tengah ada yang ia pikirkan. Suasana mendadak heboh ketika 3 orang lelaki dengan seragam datang. Beberapa diantara mereka tampak sangat terkejut. Itulah gelagat penumpang gelap.
“Karcis-karcis” kata salah seorang diantara mereka. Beberapa diantara mereka saling berpandangan, mungkin mereka sama-sama tahu kalau mereka ini penumpang gelap. Sementara gadis kalangan atas itu mengeluarkan karcisnya dengan santai, ada senyum kecil mengembang di sudut bibirnya ketika melihat orang-orang disana kebingungan. Mungkin yang akan ia katakan adalah kasian, siapa suruh ga beli tiket.
Tetapi senyuman itu segera menghilang ketika ia melihat kecurangan disana. Penumpang-penumpang gelap itu menyerahkan beberapa lembar uang ribuan yang digulung kepada salah seorang diantara mereka dengan wajah santai, seolah hal itu biasa mereka lakukan. Gadis itu memandangi petugas dengan kening berkerut. Sepertinya ia begitu bingung dengan kondisi ini.
Awalnya ia pikir penumpang-penumpang itu takut pada petugas, bukan sekedar terkejut, tapi sepertinya ia salah sangka. Penumpang gelap itu bukan takut kepada petugas, karena petugas tidak akan melakukan apapun kepada mereka, kecuali meminta uang yang jumlahnya lebih murah daripada tiket resmi. Mereka sepertinya hanya kaget karena petugas masih sempat memeriksa tiket penumpang padahal hari itu kondisi kereta benar-benar sesak. Bahkan hanya untuk berdiri saja mereka tetap harus berdesak-desakan.
Kemudian perhatian petugas itu beralih pada nenek yang membawa banyak barang itu. Ia memandangnya sesaat sebelum meminta karcis padanya. Tetapi yang nenek lakukan adalah mengambil beberapa uang 2 ribuan yang sepertinya adalah lembaran-lembaran terakhir yang ia temui. Gadis itu semakin mengerutkan keningnya, begitu berkonsentrasi pada kejadian itu, seolah ia tengah menonton drama. “Kalau ia menerima uang itu, betapa rakusnya ia. Dan jika ia tidak menerima uang itu, pasti si nenek akan semakin keranjingan menjadi penumpang gelap” pikir gadis itu.
Kemudian, petugas itu menggelengkan kepalanya dan meninggalkan nenek itu. Gadis itu memandangi petugas itu secara seksama, namanya Suparman, sangat mirip dengan seseorang. Partner kerjanya melihat kearah petugas pertama, yang sepertinya atasanya. “Ambil aja” protesnya. “Orang tua” jawabnya. Kemudian 3 orang dengan seragam itu meninggalkan mereka, beralih pada gerbong selanjutnya.
“Jadi begini kondisinya” gumam gadis itu dengan senyum sinis. “Siapa yang tahu, barangkali salah satu penumpang yang mendapatkan tempat duduk adalah penumpang gelap juga. Dia yang hanya membayar beberapa ribu bisa duduk tenang sampai tertidur, dan aku yang memiliki tiket resmi terpaksa berdiri berdesak-desakan dengan penumpang lain dan menghirup udara yang terkontaminasi asap rokok” tambahnya sebelum ia tersenyum sinis lagi.
Dengan napas tertahan ia memutuskan untuk diam saja, menjadi batu dan beku. Bahkan gadis yang berada disampingnya juga merupakan penumpang gelap. Padahal gadis itulah yang tadi sempat mencerahkan suasana hatinya. Dan kemarahan di dalam dadanya semakin tidak karuan. Kepalanya dipenuhi amarah, yang jika diledakkan sanggup menggulingkan kereta itu. Tetapi gadis itu cukup terpelajar, ia menggunakan kepalanya untuk berpikir. “Kalau bukan dengan otot, aku akan memperingatkan mereka dengan otak.”
***
Suparman meletakkan tas kerjanya kemudian merebakan tubuhnya keatas kasur yang keras. Tiga orang anak berhamburan kearahnya, salah satu diantara mereka menarik-narik seragamnya sambil merengek-rengek minta permen. Sementara dua diantaranya malah langsung membongkar tas kerjanya. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan Suparman untuk membelikan ketiga anaknya makanan ketika ia pulang kerja. Seorang gadis tiba-tiba saja lewat, sepertinya ia anak sulung Suparman. “Oh, udah pulang pak?” “Nandan, Bapak mau bicara sebentar” panggil Suparman. “Oh,iya pak. Katanya sesaat sebelum duduk disamping Bapak dan ketiga adiknya. “Kamu temani nenek ya” kata Bapaknya. Dan Nandan mengangguk setuju.
Tidak lama, seorang wanita cantik berjalan kearahnya kemudian memijit bahunya. “Pak, tetangga sebelah beli kulkas baru lho” kata wanita itu sambil terus memijit pundaknya. Suparman memejamkan matanya, menikmati pijitan istrinya. “Kita udah lama gak ganti kulkas lho Pak. Kulkas itu udah gak bisa menampung semua persediaan makanan kita, nanti dimana kita mau nyimpen jajan anak-anak? Anak-anak kan suka sekali jajan pak, kasihan mereka. Beli yang baru ya, pak?”
Tiba-tiba terdengar tangisan dari salah satu kamar. Raut muka wanita cantik itu tiba-tiba saja berubah memerah. Dengan langkah tak stabil ia berlari menuju sumber suara. Suparman menyusulnya dengan wajah panik. Seorang nenek yang tubuhnya dipenuhi dengan slang tengah gemetaran. Mata Suparman memerah, seperti menahan perih. Ia berlari keluar rumah, mengambil kunci motor. “Aku akan panggil dokter” katanya sesaat sebelum memacu motornya dengan kecepatan tinggi.
Sementara itu, gadis kelas atas itu tengah berkutat dengan laptopnya, telinganya ditutupi oleh headphone, sementara jemarinya tengah sibuk melompat-lompat diatas keyboard. Sepertinya ia tengah menulis sebuah surat laporan. “Suparman dan dua orang temannya akan dipecat sebentar lagi” gumamnya dengan yakin.
Tiba-tiba seseorang membuka pintu kamarnya, itu Ibunya. Gadis itu melepaskan headphonenya, berusaha mendengarkan apa yang Ibunya katakan. Tetapi sebelum sempat ia melepasnya, si Ibu sudah terlanjur menghilang. Mungkin pasiennya sedang membutuhkannya, pikir gadis itu sambil meletakkan headphone itu ditelinganya dan mengerahkan semua atensinya pada surat laporan yang tengah ia buat. Beberapa menit berselang, akhirnya surat itu selesai dibuat. Matanya beralih pada shortcut berbentuk bola dunia yang dibawahnya bertuliskan internet. Ia membuka alamat emailnya, kemudian menekan tombol send. Bip. Dan pesan itu telah terkirim. “Suparman dan 2 partnernya akan mati!” katanya dengan yakin.
Tiba-tiba handphonenya berdering. Ia melihat nama Mama berdansa didalam layar handphonenya. “Ngapain Mama nelpon? Apa ada obat yang lupa gak dia bawa ya?” gumamnya sesaat sebelum menekan tombol answer. “Lisa sayang, kamu kerumah Nandan ya sekarang, neneknya meninggal” kata Mama. Jantung Lisa menjadi berdebar-debar, sangat keras. Nandan adalah sabahat baiknya di SMP.
Suasana haru tampak ketika ia sampai dirumah sederhana Nandan. Mamanya menyuruh Lisa masuk begitu ia sampai. Nandan tengah berdiri di ambang pintu, melihat ke bawah dengan tatapan kosong. Matanya merah dan basah, seperti semua orang yang ada disana. “Nenekmu ga meninggal, beliau cuma berhijrah ke dunia yang lebih indah” kata Lisa sambil menepuk-nepuk pundak Nandan.
“Eh, ada dek Lisa, ayo masuk” kata seorang pria dengan senyum mengembang. Setengah mati ia berusaha tampak sopan dan ramah, tetapi yang tampak dimatanya hanya kesedihan mendalam. Tiba-tiba bom kemarahan yang ia ledakkan didalam surat laporan itu berbalik arah, memborbardir dirinya. Dia merasa akan jatuh dan mati. Itu dia, Suparman, Ayah Nandan. Apa yang baru saja aku lakukan? Tapi, bukankah kebenaran harus tetap diteriakkan?
5 komen:
Wah sangat mengena. Ini yg terjadi di masyarakat kita. Hanya ada di Indonesia.
eh di ending aku mau tanya, suparman itu salah satu dari 3 petugas kereta itu ya?
hhaa..iya...hanya ada di Indonesia
betul-betul...kurang jelas ya?
ada sarankah? biar lebih gampang dipahamin yang baca?
khas...apa eh namanya? Indigenous ya? hehehe
mungkin sebelum ada cerita suparman...si mbak pas di kereta ditunjukkin nama orangnya, dikit aja gitu...
"Kemudian, petugas itu menggelengkan kepalanya dan meninggalkan nenek itu. Gadis itu memandangi petugas itu secara seksama, namanya Suparman, sangat mirip dengan seseorang."
udah tak sebutin koq di awal...bahkan udah tak kasih clue..sangat mirip dengan seseorang.hhee
maksunya yang begini kan?
Waaah maap deh, aku kan loadingnya lama ;p
sip mega, terus berkarya!
hehehe
Posting Komentar